Konstruksi ‘iddah dan Ihdad dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Abstract

Konstruksi Kompilasi Hukum Islam (KHI) diidentifikasi masih membidik perempuan dengan aturan-aturan yang sifatnya membatasi ruang gerak mereka, termasuk perbincangan ‘iddah dan ihdad. Validitas hukum Islam yang terdapat dalam KHI mengundang kritik, bahkan menimbulkan kontroversi. Berangkat dari hal tersebut, artikel ini ingin mengupas konstruksi yang ada, untuk kemudian Undang-Undang, hukum, dan norma penting untuk selalu menyesuaikan. Beberapa pertanyaan yang kemudian muncul ialah, mengapa konstruksi ‘iddah dan ihdad dalam KHI mendiskriminasikan perempuan, bagaimana konstruksi tersebut diperbincangkan dari perspektif gender. Artikel ini merupakan penelitian pustaka (library research), bersifat deskriptif analitik, dengan pendekatan yuridis-normatif; sosio-historis dan gender. Dalam menganalisa data-data penelitian ini menggunakan medote deduktif dengan mengemukakan teori-teori, dalil-dalil atau generalisasi yang bersifat umum, untuk selanjutnya dikemukakan kenyataan yang khusus, dan menggunakan metode deskriptif. Artikel dengan konstruksi ‘iddah dan ihdad dalam KHI terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi konsep tersebut. Pertama; masih adanya tarik ulur dalam memahami fiqh klasik, dimana seluruh rujukan kitab yang dipakai merumuskan KHI, kesemuanya lebih bersifat eksklusif. Kedua; bahwa sesuai Pengaturan Mahkamah Agung RI, KHI merupakan proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi yang cenderung dipelopori kelompok laki-laki, dan ini sedikit banyak juga akan mempengaruhi pemikiran mereka dalam menkonstruk pasal-pasal di dalamnya. Menurut perspektif gender, konsepsi dalam KHI butuh solusi sebagai titik temu agar tidak terjadi benturan ide (konstruksi yang dirumuskan oleh fiqh klasik yang diadopsi menjadi pasal dalam KHI dengan kondisi nyata berupa kehidupan perempuan modern di sektor publik). Untuk dapat mengkompromikan kandungan hukum yang ada dalam ketentuan syara’. Sehingga bagi perempuan dan juga laki-laki tetap melakukan ketentuan syar’i yaitu mengamalkan masa tunggu dan berkabung tidak sampai pada batas puncaknya.