Status Hukum Praktik Childfree Dalam Perspektif Ulama Syafi’iyah

Abstract

Anak merupakan dambaan setiap pasangan. Buah dari hasil pernikahan adalah lahirnya keturunan. Pada anak terdapat harapan yang tinggi serta pemegang estafet perjuangan bagi agama dan bangsa. Namun, ketika lahir anak sebagai bencana dan dianggap dapat memberi efek negatif bagi pasutri, masyarakat bahkan lingkungan, maka ini menjadi perkara serius. Padahal kehadiran mereka adalah pelestari peradaban di dunia ini. penolakan terhadap kehadiran anak inilah yang dikenal dan populer saat ini dengan istilah childfree. Berdasarkan realita di atas timbullah tanda tanya apa saja langkah-langkah potensial yang ditempuh untuk melakukan childfree dalam perspektif fikih syāfi’iyyah dan bagaimanakah hukum praktik childfree menurut perspektif syāfi’iyyah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan diskriptif analisis yaitu menggambarkan langkah-langkah potensial yang ditempuh untuk melakukan childfree sesuai dengan padanan hukum yang terdapat dalam kasus fikih dalam mazhab Syafi’i. Teknik analisis data dilakukan dengan pendekatan content analysis. Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah studi fikih telah merekam beberapa padanan kasus yang dicermati secara substansial semua kasus sama dengan pilihan dan praktik childfree yaitu seperti: sama sekali tidak menikah; menahan diri untuk tidak bersetubuh pasca pernikahan; ‘azl atau mengeluarkan sperma di luar vagina; dan memutuskan sistem reproduksi. Status hukum terhadap langkah tersebut adalah pada langkah potensial yang pertama tidak ada kaitannya dengan childfree, kedua boleh tetapi meninggalkan keutamaan, ketiga ada khilaf pendapat. Menurut Imam al-Ghazali boleh karena hukum dasarnya ‘azl boleh dengan catatan sesuai dengan motif yang melatarbelakanginya sesuai keterangan syariat. Sedangkan menurut Imam Nawawi hukumnya makruh tanzih. Adapun langkah potensial yang terakhir sepakat ulama haram kecuali dalam kondisi dharurat.