POLITIK TANAH SULTAN (MENJAGA KEBERLANGSUNGAN KERATON DAN EKONOMI RAKYAT MISKIN)
Abstract
74 persen tanah di indonesia telah dikuasai 0.2 persen penduduk Indonesia. Raksasa ekonomi ini dengan gigih ingin masuk dan menguasai tanah di Yogyakarta. Satu-satunya provinsi di Indonesia yang belum mampu mereka kuasai tanahnya. Intruksi wakil gubenur tahun 1975 yang melarang warga non pribumi untuk memiliki tanah di wilayah kekuasaan kraton Yogyakarta menjadi hujah gubenur Sri sultan Hamengku Buwono X untuk menolak keinginan warga etnis cina memiliki tanah di Yogyakarta. Dengan dalih sejarah dan kepentingan ekonomi rakyat, intruksi ini tetap dipertahankan. Melihat realitas penguasaan ekonomi Indonesia secara umum, Yogyakarta layak untuk mempertahankan peraturan ini, tetapi harus ada pengawasan yang menjamin bahwa penegakan intruksi ini untuk menjaga ekonomi masyarakat lemah bukan untuk kepentingan pribadi raja atau keluarga kerajaan. Kata kunci: Kraton, Intruksi, etnis Cina 74 percent of the land in Indonesia has been controlled by 0.2 percent of Indonesia’s population. This economic giant is determined to enter and control the land in Yogyakarta. The only province in Indonesia that they have not been able to master the land. The 1975 deputy governor’s inauguration that forbade non-indigenous people to own land in the territory of the Yogyakarta court became the object of the governor of Sultan Hamengkubuwono X to deny the desire of ethnic Chinese citizens to own land in Yogyakarta. Under the pretext of history and the economic interests of the people, this instruction is maintained. Looking at the reality of Indonesian economic mastery in general, Yogyakarta is worthy to defend this regulation, but there must be oversight ensuring that the enforcement of these instructions to safeguard the economy of the weak is not for the personal benefit of the king or the royal family.