PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM MUI DAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL DALAM MENERBITKAN SERTIFIKAT HALAL PRODUK HARAM YANG TERLANJUR BEREDAR

Abstract

Sertifikasi halal merupakan hal yang urgent ditengah begitu banyaknya produk makanan dan minuman yang beredar dimasyarakat. Pencantuman sertifikasi halal dalam kemasan produk oleh pelaku usaha adalah salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen dan dukungan kepada perkembangan industri pangan halal. Sertifikasi halal mengalami perubahan sifat, yang pada awalnya bersifat sukarela menjadi wajib (mandatory) setelah adanya Undang-Undang Republlik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim wajib memperoleh perlindungan hukum atas beredarnya makanan dan minuman yang akan dikonsumsi. Oleh karena itu lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai lembaga yang berwenang dalam penerbitan sertifikat halal harus lebih presisi dan pruden dalam proses verifikasi produk yang akan disertifikasi. Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana pertanggungjawaban hukum MUI dan BPJPH sebagai lembaga yang diberikan kewenangan oleh undang-undang terhadap penerbitan sertifikat halal pada produk yang haram dan terlanjur beredar serta sudah dikonsumsi oleh masyarakat. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan studi kepustakaan dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, jurnal, buku, maupun karya ilmiah yang lain seperti skripsi, tesis dan disertasi yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis yaitu suatu metode yang mengambarkan dan menjelaskan secara sistematis, dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diteliti berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa jika terjadi kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh oknum-oknum yang ada di MUI dan BPJPH sebagai lembaga yang berkompeten dalam urusan sertifikasi halal tidak bisa selesai hanya dengan meminta maaf kepada masyarakat tetapi harus ada sangsi pidana maupun sangsi perdata yang diimplementasikan dalam rumusan norma hukum yang jelas karena bisa berpotensi terulang kembali apalagi jika ada unsur kesengajaan dalam penerbitan sertifikat halal produk haram yang sangat merugikan masyarakat umum dan muslim khususnya.