ASPEK HUKUM NIKAH NANAU LABE PADA PERKAWINAN SUKU KAILI DI DESA BALUASE
Abstract
This study aims to determine the implementation of nanau labe marriage in the marriage of the Kaili tribe in Baluse village and the underlying factors as well as to know the legal aspects of this type of marriage. This study uses a mix method of empirical juridical and normative juridical research. In this study, the authors took field data through interviews with the subjects studied regarding the problems contained in the research. Data collection in the field in this study is a characteristic of empirical legal research. In this study the authors also explore legal materials related to marriage for comparison. The use of legal materials in legal research is a characteristic of normative juridical research. Based on the results of the research conducted, the authors conclude that: first, the implementation of the nanau labe marriage in Baluse village is not only carried out for pregnant women and men who are willing to marry them, but also between the pregnant woman and the man who impregnates her. In the implementation of the nanau labe marriage, there has been a shift in customary law regarding the sanctions that apply to the perpetrators of the nanau labe marriage where the sanctions are no longer valid because they consider economic and humanitarian aspects. There are also factors that affect nanau labe marriages, namely promiscuity resulting in pregnancy, irresponsible men impregnating women, inappropriate family communication, selfish attitudes of parents and ensuring the status of the child being born. Second, nanau labe may be carried out if it is based on the opinion of the Hanafi School about the permissibility of marrying pregnant women due to adultery and marrying pregnant women not the result of adultery but must pay attention to the provisions that limit it. The nanau labe marriage does not guarantee legal certainty in the marital relationship, so there is no basis for both parties to the marriage to make demands relating to rights after divorce. Furthermore, the nanau labe marriage does not guarantee legal certainty regarding the status and rights of the child born. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan nikah nanau labe pada perkawinan suku Kaili di desa Baluase dan faktor-faktor yang mendasarinya sekaligus mengetahui aspek hokum dari jenis perkawinan tersebut. Penelitian ini menggunakan mix method dari jenis penelitian yuridis empiris dan yuridis normative. Pada penelitian ini penulis mengambil data lapangan melalui wawancara kepada subjek yang diteliti terkait permasalahan yang terdapat dalam penelitian. Pengambilan data pada lapangan pada penelitian ini merupakan ciri dari penelitian hokum empiris. Dalam penelitian ini penulis juga menelusuri bahan-bahan hokum yang berkaitan dengan perkawinan untuk dilakukan perbandingan. Penggunaan bahan-bahan hokum dalam penelitian hukum merupakan ciri dari penelitian yuridis normatif. berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penulis menyimpulkan bahwa: pertama, pelaksanaan nikah nanau labe di desa Baluase tidak hanya dilakukan kepada perempuan hamil dan laki-laki yang bersedia untuk menikahinya, tetapi juga dilakukan anatara wanita yang hamil tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya. Dalam pelaksanaan nikah nanau labe telah terjadi pergeseran hokum adat mengenai sanksi yang berlakukan pada pelaku nikah nanau labe dimana sanksi tersebut sudah tidak berlaku karena mempertimbangkan aspek ekonomi dan kemanusiaan. Ada pun faktor yang mempengaruhi nikah nanau labe yaitu pergaulan bebas sehingga mengakibatkan kehamilan, laki-laki yang menghimili perempuan tidak bertanggung jawab, komunikasi keluarga yang tidak tepat, sikap egois orang tua dan memastikan status anak yang lahir. Kedua, nanau labe boleh dilakukan apabila didasarkan pada pendapat Mazhab Hanafi tentang kebolehan menikahi perempuan hamil akibat perzinahan dan menikahi perempuan hamil bukan hasil zina tetapi harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang membatasinya. Nikah nanau labe tidak memberikan jaminan kepastian hokum dalam hubungan perkawinan, sehingga tidak ada dasar bagi kedua belah pihak yang melakukan perkawinan untuk melakukan tuntutan yang berkaitan dengan hak-hak setelah perceraian. selanjutnya nikah nanau labe tidak memberikan jaminan kepastian hokum terhadap status dan hak-hak anak yang dilahirkan.