Kontroversi Hak Ijbar Wali terhadap Mempelai Wanita dalam Pernikahan dan Dampaknya terhadap Ekonomi Keluarga

Abstract

Salah satu maksud disyari’atkan pernikahan dalam agama Islam oleh Allah adalah untuk menjaga agama karena pernikahan merupakan salah satu usaha untuk memelihara kemuliaan keturunan serta menjadi kunci ketentraman dalam keluarga. Agar tercapai pernikahan Sakînah, Mawadah wa Rahmah yang penuh barakah kiranya perlu dilandasi dengan cinta kasih sayang di antara keduanya. Jika kemaslahatan ini tidak terpelihara maka akan menimbulkan kerusakan.  Fiqih madzhab hanafiah dan fiqih madzhab syafiiah  memiliki pemahaman berbeda mengenai hak ijbar wali. Bukan hanya perbedaan pendapat di masing-masing ulama, namun juga prakteknya di Indonesia. faktor yang mempengaruhi perbedaan pandangan  Fiqih Madzhab Hanafîah  Fiqih Madzhab Syafi’iah mengenai hak ijbar diantaranya adalah: adanya ta’arud dalam qiyas, perbedaan dalam pemahaman dalalah  lafazd dan faktor sosial budaya. istidlal Fiqih Madzhab Hanafîah tentang hak ijbar: (1).Al-Qur’an (2).Lafadz الْأَيِّمُ  bermakna perempuan perawan atau janda yang tidak mempunyai suami (3)pema’naan secara majazi pada lafdz (الْبِكْر) (4). menganalogikan nikah dengan jual beli (5). menggunakan ‘urf penduduk Kufah. Sedangkan istidlal Fiqih Syafi’iah (1) Al-Qur’an (2)  menggunakan mafhum Mukhalafah hadits:الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا. (3) hadits yang diriwayatkan oleh ibn abbas (أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا) adalah pernikahan yang tidak sekufu’. (4) : tindakan Abû  Bakar yang menikahkan putrinya (‘Âisyah) yang masih berumur enam atau tujuh tahun, dengan Nabi. KHI selaku hukum perkawianan Islam Indonesian dalam hal hak ijbar wali berpegangan pada pendapat fiqih madzhab Hanafîah. Pada pasangan pernikahan secara  ijbar, yang pastinya masih di bawah umur otomatis pendidikannya belum maksimal. Keterbatasan pendidikan pada akhirnya membatasi akses lapangan pekerjaan bagi mereka. Ini yang menyebabkan kondisi ekonomi pasangan yang menikah dini sulit untuk ditingkatkan.