Qira’at Al-Qur’an dan Perkembangannya di Aceh

Abstract

The people of Aceh in general only know one qira'at in reading the Qur'an, namely Qira'at 'Ashim, the history of Hafash, it is caused by the lack of the knowledge of society about qira'at readings from the priests, whereas some people master the reading of qira'ah sab'ah (seven qira'at), qira'ah 'asyarah (ten qira'at) even up to fourteen qira'at. It is marked by the emergence of various writings on the development of qira'at from the Acehnese scholars. However, the limitations of media and socialization make it seem as if this knowledge has never developed. This paper aims to briefly discuss qira'at al-Qur'an and describe how it developed in Aceh, starting from recitation in classical times to modern times. This study uses a descriptive analysis method by collecting data, both in the form of readings and the results of interviews relating to the theme of the discussion. The results of the study show that the development of qira'at in Aceh is a knowledge that should not be forgotten by the wider community, especially the people of Aceh who are not the area of origin from where the Qur'an was revealed. The science and practice of qira'at can develop rapidly in Aceh and get a special place for learning. Masyarakat Aceh pada umumnya hanya mengenal satu qira’at dalam membaca Al-Qur’an, yaitu Qira’at ‘Ashim riwayat Hafash, hal ini disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat terhadap bacaan-bacaan qira’at dari para imam. Padahal terdapat beberapa kalangan yang menguasai bacaan qira’ah sab’ah (qira’at tujuh), qira’ah ‘asyarah (qira’at sepuluh) bahkan qira’at empat belas. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai karya tulis pada lintas perkembangan qira’at dari para ulama Aceh. Namun, keterbatasan media dan sosialisasi menjadikan ilmu tersebut seolah-olah tidak pernah berkembang. Tulisan ini bertujuan untuk membahas qira’at al-Qur’an secara ringkas dan menggambarkan bagaimana perkembangannya di Aceh, mulai dari pengajian di masa klasik sampai pada masa modern. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan cara mengumpulkan data-data, baik berupa bacaan maupun hasil dari wawancara yang berkenaan dengan tema pembahasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan qira’at di Aceh menjadi pengetahuan yang tidak boleh dilupakan oleh masyarakat luas, khususnya masyarakat Aceh yang bukan daerah asal dari tempat turunnya al-Qur’an. Bahkan, ilmu dan praktik qira’at bisa berkembang dengan pesat di Aceh serta mendapat tempat khusus untuk pembelajarannya.