Two Faces of Veil in the Quran: Reinventing Makna Jilbab dalam Al-Qur’an Perspektif Tafsir Maqāshidi dan Hermeneutika Ma’nā cum Maghzā

Abstract

Contemporary Qur’an and Hadith scholars are challenged in their way to develop comprehensive research while observing the realia in a multidisciplinary and cognitive perspective so that authoritative and arbitrary interpretations would not appear. This article examines the theory of Maqāshid al-Qur’an and Ma’nā cum Maghzā promoted by two scholars, Abdul Mustaqim and Sahiron Syamsuddin, especially in the context of reinventing the meaning of jilbab/hijab. The validity of Maqashidī and Ma’nā cum Maghzā interpretation is equivalent based in its process on identifying values of the Qur’anic text to develop moral-based interpretations. Through the maqāshidi interpretation approach, the development of hijab is observed as an effort of protection, prevention the rights of the mind, soul, body, family, financial, and ishahah to the legal, political, and sharia implications. On the other side, through the Ma’nā cum Maghzā approach, the development of hijab has experienced the axiological shift from ethical values to aesthetic one so that societal reception on its magnificence and sublimities have changed its position from within the fundamental-productive aspects of hifzh al-nasl which were originally istihsan towards dharuriyyat. Interpretation products emerged from the methodology of Maqāshidi and Ma’nā cum Maghzā are inclined to the conclusion that the use of the hijab in Indonesia needs to be adjusted to the needs of the community which underlining the dimensions of temporality and locality, so that an interpreter needs to observe the ahhām marhaliyāt (temporal law) philosophically, critically, and contextually. [Sarjana Alquran dan Hadis kontemporer dituntut untuk mengembangkan kajian yang komprehensif dengan mengamati realita dalam perspektif multidisiplin dan rasional sehingga tafsir otoritatif dan sewenang-wenang tidak akan muncul. Artikel ini membahas teori Maqāshid al-Qur’an dan Ma’nā cum Maghzā yang dikemukakan oleh dua ulama, Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin, terutama dalam konteks memaknai kembali arti jilbab/ hijab. Validitas interpretasi Maqashidī dan Ma’nā cum Maghzā dalam hal ini setara kedudukannya berdasarkan prosesnya dalam mengidentifikasi nilai-nilai teks Alquran untuk mengembangkan interpretasi berbasis moral. Melalui pendekatan interpretasi maqāshidi, pengembangan jilbab diamati sebagai upaya perlindungan, pelanggaran hak-hak pikiran, jiwa, tubuh, keluarga, keuangan, dan ishahah terhadap implikasi hukum, politik, dan syariah. Di sisi lain, melalui pendekatan Ma’nā cum Maghzā, pengembangan jilbab telah mengalami pergeseran aksiologis dari nilai-nilai etis ke nilai estetika sehingga penerimaan masyarakat atas kemegahan dan keagungannya telah mengubah posisinya dari dalam aspek fundamental-produktif dari hifzh al-nasl yang awalnya istihsan menuju dharuriyyat. Produk tafsir yang berasal dari metodologi Maqāshidi dan Ma’nā cum Maghzā cenderung pada kesimpulan bahwa penggunaan jilbab di Indonesia perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang menggarisbawahi dimensi temporalitas dan lokalitas, sehingga seorang penafsir perlu mengamati ahhām marhaliyāt (hukum temporal) secara filosofis, kritis, dan kontekstual.]