Mewujudkan Social Inclusion: Kontribusi Satunama terhadap Penghayat Kepercayaan di Yogyakarta
Abstract
Indigenous religions have experienced discrimination resulting from repressive policies and nuances that are discriminatory and pragmatic in Indonesia. This paper focuses on the role and contribution of Satunama to promote social inclusion especially among the followers of indigenous faiths in Indonesia. The data was collected through field research, intended to gain primary data from the subjects. The gathered data was analysed using descriptive-analytical approach, in which the primary and secondary data was analysed qualitatively. The existence of government interpretations that distinguish religion from belief has posed serious problems among the followers of indigenous faiths in the country. Legal products made by the government are also very discriminatory in nature as they tend to force those who follow indigenous faiths to identify themselves into official religions which are not necessarily suit their faith. This occurs in the process of issuing ID card, birth certificate, passport and some other documents. The implication is that the followers of indigenous faiths tend to be marginalised and excluded from the mainstream society. Satunama is one of the prominent NGOs in Yogyakarta which is known for its role and contribution to the discourse social inclusion in the society. Satunama is known especially for its efforts to advocate human rights protection for marginal groups and freedom of religion for the followers of indigenous faiths. [Di Indonesia, agama-agama pribumi telah mengalami diskriminasi yang disebabkan oleh kebijakan dan lingkungan represif, diskriminatif dan pragmatis. Artikel ini membahas peran dan kontribusi Satunama dalam mempromosikan keterbukaan atau inklusi sosial khususnya pada para penganut kepercayaan lokal di Indonesia. Data dalam penelitian ini diperoleh dari kajian lapangan yang ditekankan pada perolehan data primer dari subjek-subjek penganut keyakinan lokal. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisa menggunakan pendekatan deskriptif-analitis, dan data primer dan sekunder dianalisa secara kualitatif. Penafsiran pemerintah yang membedakan agama dari keyakinan telah memunculkan masalah di kalangan penganut keyakinan lokal di Indonesia. Kebijakan yang dihasilkan Pemerintah Indonesia sungguh sangat diskriminatif dan seakan cenderung memaksa para penganut keyakinan lokal itu untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai pengikut salah satu agama resmi yang bukan sama sekali seperti yang mereka anut. Ini tentunya terjadi saat proses penerbitan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Kelahiran. Passport dan beberapa identitas diri dan dokumen lain. Ini berdampak pada merasa terpinggirkannya penganut keyakinan lokal dan terkucilkannya dari publik. Satunama adalah salah satu LSM di Yogyakarta yang dikenal karena peran dan kontribusinya dalam wacana-wacana inklusi sosial dalam masyarakat. Satunama dikenal terutama akan upaya-upayanya untuk mendampingi dan mengadvokasi perlindungan hak asasi manusia untuk kelompok-kelompok terpinggirkan serta untuk kebebasan dalam beragama bagi penganut agama lokal.]