Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam, Undang-UndangKekeluargaan Malaysia, Dan Pandangan Imam Empat Madzhab
Abstract
Abstraksi Para ulama sepakat rujuk itu diperbolehkan dalam Islam. Upaya rujuk ini diberikan sebagai alternatif terakhir untuk menyambung kembali hubungan lahir batin yang telah terputus.Dari analisa yang telah penulis lakukan ternyata Imam Hanbali berpendapat bahwa rujuk hanya terjadi melalui percampuran. Begitu terjadinya percampuran, maka terjadilah rujuk walaupun tanpa niat. Menurut Imam Hanafi, selain melalui percampuran rujuk juga bisa terjadi melalui sentuhan dan ciuman, dan hal-hal sejenisnya. Imam Malik menambahkan harus adanya niat rujuk dari sang suami disamping perbuatan, pendapat ini bertolak belakang dengan pendapat Imam Hanafi yang menyatakan rujuk bisa terjadi dengan perbuatan saja tanpa adanya niat. Sedangkan Imam asy-Syafi’i rujuk harus dengan ucapan yang jelas bagi orang yang dapat mengucapkannya, dan tidak sah jika hanya perbuatan. Sedangkan pendapat yang dianggap lebih relevan dengan konteks Indonesia adalah pendapat Imam asy-Syafi'i-lah yang mewajibkan dengan adanya saksi. Abstract The scholars agreed that reconciliation is allowed in Islam. This reconciliation effort is given as a last alternative to reconnect inner and outer relationship that disconnected. From the analysis that has been done brought to Imam Hanbali thought that reconciliation only occur through mixing. Once the mixture happen, then there is reconciliation eventhough there is no intention. According to Imam Hanafi, instead of mixing, reconciliation occur through touch and kiss and stuff like that. Imam Malik added it should refer to their intention of action in addition to the husband, this opinion is contrary to the opinion of Imam Hanafi that states reconciliation can be happen if there is physical action without any intention. While Imam Shafi'i stated that reconciliation need a clear speech for people who can say it, and invalid if it just show by the behaviour. On the other hands, opinion is considered more relevant to the context of Indonesia is the opinion of Imam Shafi'i was the statement that requires the present of a witness.