PARADIGMA INTEGRASI-INTERKONEKSI DALAM ILMU KEPESANTRENAN

Abstract

Pesantren adalah tempat dimana santri belajar ilmu agama sekaligus diperkenalkan ilmu-ilmu umum. Dengan dua nilai yang ditawarkan itulah pesantren disebut sebagai benteng terakhir umat Islam dalam memupuk moral bangsa ini. Niscaya kurikulum Islam akan menjadi kiblat di dunia pendidikan, terutama di Indonesia yang kelak akan mencetak generasi yang hebat, tangguh dan berakhlakul karimah. Nurcholis Majdid berpendapat bahwa secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman tetapi juga makna keaslian Indonesia. Dalam nilai-nilai ilmu kepesantrenan untuk menciptakan keteraturan hidup perlu penataan rencana dari mulai bangun tidur hingga tidur kembali. Sehingga dapat tercipta keteraturan hidup. Dalam ilmu ketauhidan meng-Esa-kan Allah dalam hal ibadah disebut tauhid karena seorang hamba dengan keyakinan nya itu telah mentauhidkan Allah. Ketika dia meyakini ke-Esa-an Allah, niscaya akan beramal sesuai dengan keyakinannya dengan mengikhlaskan ibadah dan doanya hanya kepada Allah semata. Mengimani bahwasannya Allah sebagai pengatur semua urusan dan pencipta seluruh makhluk. Pemilik asmaul husna dan sifat yang sempurna dan hanya Allah saja yang berhak untuk di ibadahi dan bukan selain–Nya, jauh sebelum konsep marhamah dicanangkan oleh berbagai daerah di Indonesia.  Pondok pesantren dengan berbagai program telah mempraktikan konsep Al-Qur’an itu dalam ajaran dan kehidupan. Konsep marhamah atau masyarakat yang diliputi kasih sayang, semangat saling mencintai serta saling mengasihi sudah menjadi sebuah pemandangan yang biasa terlihat diantara murid murid pondok pesantren. Kasih sayang tidak terbatas pada sesama muslim saja, kepada orang yang non-muslim kita juga tak boleh melakukan hal yang merugikan. Sikap terhadap sesama muslim dilandasi oleh perasaan akidah, sedangkan terhadap orang non-muslim bersandar pada prinsip toleransi dalam beragama.