Produksi Hiperrealitas pada Komunitas Utopia di Indonesia

Abstract

Fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi (2016), Kerajaan Ubur-ubur (2018), Kerajaan Agung Sejagat (2020), Sunda Empire (2017) menjadi wacana dominan di Indonesia pada dasawarsa ini. Fenomena tersebut menyedot perhatian publik dan membuat para aparat hukum sibuk untuk mengusut fenomena tersebut. Fenomena yang dikenal dengan komunitas utopia, ini mampu menarik pengikut dengan jumlah banyak temasuk tokoh penting masyarakat. Kasus Dimas Kanjeng menarik pengikut ribuan orang dan mampu menyeret nama besar Marwah Daud Ibrahim, kerajaan Agung Sejagat yang diikuti hingga 450 orang, Kerajaan Ubur-ubur 20 orang pengikut, dan Sunda Empire menarik pengikut hingga 1000-an orang. Fokus dari kajian ini adalah 1) memaparkan motif pendirian komunitas utopia tersebut, mekanisme mereka mencari pengikut hingga menarik ribuan orang, 2) karakteristik pengikut komnunitas utopia. Untuk menjawab kajian pertama ini ini dikaji dengan menggunakan perspektif Hiperrealitas Jean Baudrillard, sedangkan pertanyaan kedua dengan menggunakan motif perilaku dengan perspektif Max Weber. Hasil kajian menemukan bahwa fenomena komunitas utopia tersebut menunjukkan bahwa mereka masing-masing memiliki motif-motif yang berbeda antara lain ada yang bermotif ekonomi (uang), yaitu Dimas Kanjeng Taat Pribadi, Kerajaan Agung Sejagat, kerajaan Ubur-ubur masih dalam tahap diduga bermotif ekonomi (uang), sedangkan Sunda Empire bermotifkan keinginan si pendiri untuk 2 putrinya yang pada waktu itu ditahan oleh pihak migrasi Malaysia karena didapati menggunakan paspor Sunda Empire, namun keseluruhan empat komunitas utopia tersebut memiliki kesamaan yaitu sama-sama memproduksi hiperrealitas berupa pengakuan mereka terhadap masyarakat bahwa mereka sanggup melakukan sesuatu yang luar biasa di luar dari natural/nalar/rasional. Pengakuan mereka tersebut sengaja disampaikan secara terbuka dengan menggunakan media sosial yang bertujuan untuk menarik pengikut.