Makna Puisi Zuhdiyyât Abû Nuwâs: Kajian Semiotika Riffaterre
Abstract
Setiap karya sastra yang diciptakan tidaklah berarti apa-apa bila tidak ada peran pembaca untuk memaknainya, khususnya yang dilakukan dalam penelitian ini, yakni pemaknaan puisi Zuhdiyyât Abû Nuwâs yang terhimpun dalam Dîwânu Abî Nuwâs yang disusun oleh Ahmad ‘Abdul-Majîd al-Gazâly. Dalam pemaknaan tersebut diperlukan identifikasi terhadap tanda-tanda yang muncul dalam teks puisi. Oleh sebab itulah, dibutuhkan teori semiotik yang menganggap karya sastra (puisi) sebagai sebuah sistem tanda. Teori semiotik yang dikemukakan Michael Riffaterre dipilih dalam penelitian ini karena dianggap mampu mengungkap makna yang terkandung dalam puisi. Puisi menyatakan suatu hal yang mengandung arti bukan seperti yang diungkapkan dalam bait-bait puisi, tetapi mengandung sesuatu yang lain. Untuk mengungkap makna yang terkandung dalam lima puisi yang diteliti, yaitu puisi Âsifun ‘alal-Mâdy, Afirru Ilayka Minka, an-Nafsu wad-Dunyâ, Allâhu A‘lâ, dan Tadarraʻa, diaplikasikan dua pembacaan semiotik yaitu pembacaan heuristik dan hermeneutik. Dalam pembacaan heuristik dilakukan pembacaan sesuai konvensi bahasa. Adapun dalam pembacaan hermeneutik dimulai dengan pencarian hipogram potensial, identifikasi matriks, model, dan varian, kemudian ditelusuri hipogram aktual yang menjadi latar penciptaan masing-masing puisi. Berdasarkan pembacaan heuristik ditemukan arti yang heterogen, yang belum cukup untuk memahami makna puisi secara utuh. Melalui pembacaan heurmeneutik ditemukan lima makna puisi, yaitu khawf, raja`, zuhud, fana dan baqa`, dan tobat. Kelima makna ini mengandung indikasi tasawuf, dapat pula dikatakan sebagai embrio tasawuf sunni/ akhlaki yang kemudian dikembangkan oleh para tokoh sufi setelahnya.