Elit, Cultural Capital, dan Sabda Raja dalam Sukses Kepemimpinan Keraton dan Gubernur DIY

Abstract

Setelah ditandatanganinya perjanjian giyanti, maka sejak itulah kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri. Kasultanan tersebut dipimpin oleh seorang sultan. Pemimpin kasultanan dikukuhkan berdasarkan buadaya patriarki. Sehingga sultan yang memimpin lebih sering seorang laki-laki. Hal yang menjadi polemik saat ini, Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai sultan/raja kesepuluh yang memegang tahta kasultanan tidak memiliki putra mahkota. Tetapi beberapa bulan lalu, Sri Sultan HB X mengukuhkan putri sulungnya sebagai putri mahkota melalui sabda dan dawuh raja. Pengukuhan ini tidak serta merta putri sulungnya mewarisi kedudukan Sultan HB X. Keraton Ngayogyakarta memiliki paugeran yang menjadi dasar cara menentukan siapa penerus tahta Keraton. Paugeran tersebut terbentuk dari adat istiadat dan kebudayaan para leluhur Keraton Ngayogyakarta. Hal inilah yang menjadi daya tarik peneliti untuk meneliti, apakah sabda raja yang dititahkan merupakan bentuk kesepakatan para elit keraton yang berpijak pada culture capital dalam suksesi kepemimpinan dan Bagaimana elit keraton membangun culture capital dalam suksesi kepemimpinan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, sabda raja bukan kesepakatan para elit keraton. Sabda raja murni keluar dari pribadi raja sendiri tanpa ada pihak internal yang ikut andil berkaitan dengan keluarnya sabda raja.Sabda raja tersebut bertentangan dengan paugeran Keraton yang selama ini berlaku dalam menentukan penerus tahta Keraton. Dalam paugeran Keraton, penerus raja ditentukan dengan musyawarah terlebih dahulu oleh internal Keraton yang memiliki hak. Sabda raja yang bertentangan dengan paugeran keraton dapat disebut sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Culture capital elit Keraton terbangun berdasarkan aturan keraton/paugeran yang sejak dulu ditetapkan dan diwariskan kepada para elit keraton yang sekarang ini. Elit keraton sekarang berusaha untuk tetap menjaga dan melestarikan budaya yangsudah ada. Sabda raja tersebut juga bertentangan dengan kaidah Islam, karena dalam Islam pemimpin ditentukan melalui musyawarah terlebih dahulu oleh anggota masjelis syura / Ahl al-hall wa al-'Aqd sehingga pemimpin yang terpilih memiliki legalitas yang diakui oleh semua orang.