Politik Sabdaraja dalam Perspektif Partai Politik Islam di Yogyakarta: Perdebatan Peraturan Daerah Keistimewaan tentang Syarat Calon Gubernur

Abstract

Talking about politic and goverment in Yogyakarta, closely related to dynamics of Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sabdaraja (the King’s word) for example, has implicated to rediscourse about Perdais (Privileges Regional Regulation) No 2/2015 especially requirment of candidate for governor. This article try to explore three main problems, that is; what extent Perdais qualify of philosophical, political, Juridical and sociological as constitution; How responds ofIslamic political Party to Sabdaraja; what extent Sabdaraja influence Perdais. In philosophical, political, Juridical and sociological perspective, Perdais qualify as constitution. All Islamic political party agree to restore Perdais, no respon and no change. Sabdaraja no effect to Perdais. In order can effect to Perdais, there is long way and time must be undertaken not only vertical-formal (ministry of internal affairs and House of Representatives) but also horizontal-cultural (internal palace and moslem of Yogyakarta). Diskursus politik dan pemerintahan di Yogyakarta, tidak bisa lepas dari dinamika Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sabdaraja telah memicu dan memacu kembali polemik tentang Peraturan Daerah Keistimewaan (Perdais) No 2 tahun 2015, terutama tentang syarat calon gubernur. Tulisan ini menelusuri tiga hal yaitu; sejauh mana Perdais telah memenuhi dimensi filosofis, politis, yuridis dan sosiologis untuk diberlakukan sebagai Undang-undang; bagaimana respon partai politik berbasis konstituen Islam terhadap sabdaraja; dan sejauh mana pengaruh sabdaraja terhadap Perdais. Secara filosofis, politis, yuridis dan sosiologis, Perdais memenuhi syarat untuk di berlakukan sebagai Undang-undang yang mengikat. Partai politik berbasis konstituen Islam tidak merespon sabdaraja. Artinya kembali kepada Perdais dan UUK yang telah disahkan. Sabdaraja saat ini tidak mampu mengubah Perdais dan UUK. Peluang untuk mengubah Perdais dan UUK masih ada dengan menjalani proses panjang baik secara verikal-normal (kemendagri, DPR RI dan DPRD DIY) maupun horizontal-kultural(internal keraton, umat Islam dan masyarakat Yogyakarta).