INDIGENOUS CONSTITUTION DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN DAN FIKIH MINORITAS

Abstract

Proses penanganan masalah masyarakat adat di Indonesia masih sangat menyesakan dada, dalam beberapa periode belakangan ini. Aspek-aspek yang melekat pada masyarakat adat seperti ekonomi, politik, hukum, sosial dan kultural menjadi intrumen yang dijadikan alat untuk mendiskriminasi dan memarjinalkan kelompok minoritas lokal ini dengan tujuan perluasaan sistem liberalisasi ekonomi dan politik oleh negara dan kelompok dominan yang merupakan representasi mayoritas serta memiliki akses kekuasaan terhadap aparatur negara. Dalam beberapa regulasi dan keputusan politik nasional, eksistensi komunitas lokal masih belum terakomodasi secara sistematis, terisolasi dari proses politik atau agenda politik nasional. Pengakuan atas hukum adat sebagai bagian dari instrument hukum nasional hanya pada tataran proses legislasi, dalam realitanya penanganan beberapa permasalahan yang melibatkan komunitas lokal ini terkesan tidak serius dan merugikan hak-hak masyarakat adat sebagai bagian dari entitas kewarganegaraan Indonesia. Instrumen yang tertuang dalam beberapa peraturan di Indonesia sejatinya telah bernafaskan semangat atas perlindungan masyarakat adat. Konsep indigenous constitution lahir atas kesadaraan hak-hak komunitas ini dalam perjalanan demokratisasi di Indonesia baik sebagai upaya atas pesan universalitas Hak Asasi Manusia (HAM) yakni kemanusian (humanity), keadilan (justice) dan kesetaraan (equality). Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, selalu menjadikan lima komponen dasar sebagai tujuan syariat. Konsep perlindungan di dalam Islam yang termaktub di dalam konsep fiqh al-aqalliyyât dijadikan sebagai landasan konseptual bahwa melindungi minoritas merupakan bagian dari penegakan nilai-nilai agama. Titik temu antara indigenous constitution dalam bingkai fiqh alaqalliyyât adalah pada kemashlahatan untuk melindungi hak-hak masyarakat sebagai entitas kewarganegaraan dalam suatu wilayah sesuai dengan tujuan dari Maqashid Syari’ah.