KYAI, NU, DAN PESANTREN: DALAM PERSPEKTIF DEMOKRASI DELIBERATIF

Abstract

NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia seringkali menjadi sasaran kritik oleh kaum modernis. Stigma yang umumnya dialamatkan pada organisasi ini adalah oportunistik. Tuduhan semacam ini umumnya muncul karena kebijakan NU yang dianggap selalu mencari aman. Doktrin dan praktek keagamaan NU juga tidak luput dari kecaman, mulai dari streotipe ketinggalan zaman sampai pada elit kiainya yang dipandang lemah dalam menalar perkembangan. Pada tahun 1980-an mereka mencerca kaum Nahdlyin dengan sebutan kaum tradisional yang sudah jauh dari Islam murni sebab ritualritualnya banyak mempraktekkan tradisi takhayul, bid’ah, dan khurafat. Paper ini ingin mengcounter balik stigma publik tersebut, mengingat begitu besarnya sumbangan NU dalam prosespenguatan civil society dan pemikiran Islam di negeri ini. Sebagai contoh dalam membahas hukum bunga bank, boleh tidaknya presiden perempuan, dan lain sebagainya. Ikhtilaf Ro’yi sesuatu yang sangat lazim di kalangan kaum Nahdlyin, setidaknya ini bisa dilihat dalam kegiatan Bahtsul Matsail, di mana perbedaan pendapat dalam menentukan kesepakatan sangatlah lumrah di tangan para kiai.