EPISTEMOLOGI JAHL DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF KITAB AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA (EDISI YANG DISEMPURNAKAN)

Abstract

Tulisan ini berusaha untuk mengekplorasi makna jahl (kebodohan) yang dideskripsikan oleh al-Qur’an dengan berbagai bentuk kata dan konteksnya melalui pendekatan tafsir tematik (al-tafsîr al-mawdlû’iy). Perspektif yang digunakan menurut kitab tafsir “Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) karya Tim Penulis yang terdiri dari para pakar atas inisiasi Kementrian Agama. Pengungkapan makna jahl dalam al-Qur’an menghasilkan kesimpulan yang relevan untuk diangkat di era kekinian, sebagai sumbangan paradigma pemikiran dalam kehidupan. Keyakinan bahwa sejarah berulang melalui sejumlah peristiwa yang terulang dengan pelaku sejarah yang bebeda, menjadi sebuah pengetahuan awal menuju perubahan. Hebatnya, pola kesalahan yang berulang dari satu umat, masyarakat atau komunitas bermuara pada satu faktor, yaitu kebodohan (jahl). Lafal jahl terulang sebanyak 24 kali yang tersebar dalam 17 surat, 15 Makkiyyah dan sisanya Madaniyah. Keduapuluh empat kata tersebut berkedudukan sebagai mashdar sebanyak 9 kali, fi‘l mudlâri‘ sebanyak 5 kali dan berkedudukan sebagai subjek (fâ‘il) sebanyak 5 kali. Masing-masing turunan kata tersebut mencerminkan karakteristik dan dampak kebodohan yang khas. Pastinya, kebodohan menghasilkan penyakit kronis dalam setiap sendi kehidupan, baik kebodohan karena keterbatasan ilmu mengenai Allah dan ajarannya, ataupun kebodohan karena meyakini sesuatu yang tidak sepatutnya diyakini, seperti musyrik, terlebih kebodohan karena meyakini bahwa dirinya dalam kebenaran, meskipun jelas-jelas dalam kesalahan fatal seperti kaum Luth. Solusi qurani dalam menanggapi kebodohan diantaranya: iman yang benar dan kokoh (faithful) dengan pembuktian nyata berupa amal saleh, menghindari perbuatan zhulm, klarifikasi dan berhati-hati atas setiap informasi yang diterima terlebih di era digital, dan bersegera bertaubat seketika melanggar hukum Allah.