Keabsahan Penuntutan Bebas Dalam Kasus Valencya

Abstract

Penarikan tuntutan perkara ini menjadi sejarah baru untuk hukum di Indonesia. Fenomena ini tentunya tidak diatur dalam KUHAP, karena biasanya pengadilan lah yang menjadi jalan terakhir dalam memutuskan seseorang bersalah atau tidak bersalah, terlebih lagi pada awalnya Kejaksaanlah yang mendakwa Valencya dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 5 huruf B UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun ternyata menuntut sebaliknya. Oleh karena itu fenomena hukum tersebut menarik untuk dikaji. Hasil kajian memperlihatkan bahwa, adanya tuntutan bebas memperlihatkan benar-benar dominus litis kejaksaan dalam melakukan penuntutan dilaksanakan. Jaksa agung dalam hal ini memiliki dasar hukum yaitu Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia untuk menerapkan azas oportunitas dalam suatu perkara. Dengan demikian tuntutan bebas dalam kasus Valencya sah walaupun tidak lazim. Tuntutan bebas pada perkara pidana Valencya, menimbulkan suatu penemuan dan pembaharuan hukum antara lain dominus litis Kejaksaan dalam melakukan penuntutan bukan hanya pada untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang, namun juga penuntutan, penuntutan bebas dalam kasus tindak pidana diperbolehkan, Jaksa Penuntut Umum diberikan hak menggunakan sense of crisis dalam menentukan kasus pidana dan Jaksa Penuntut Umum dapat menuntut bebas seorang terdakwa untuk keadilan berdasarkan hukum progresif.