Reorientasi Pemikiran Al-Ghzali Tentang Maslahah Mursalah Dengan Pembaruan Hukum Islam

Abstract

Wahyu terbagi menjadi dua istilah yakni wahyu matluw, yaitu al-Qur‟an al-Karim, dan wahyu gairu matluw, yaitu as-Sunnah dan al-Hadis. Kehadiran hukum Allah atau hukum Islam (ahkam syar‟iyyah) yang harus dijadikan pedoman dan acuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Atas dasar ini, para pakar fiqh dan ushul fiqh telah konsensus bahwa maslahat atau kemaslahatan merupakan tujuan inti pensyari‟ atau hukum Islam : sehingga muncullah ungkapan yang sangat populer dikalangan mereka : فثم حكم الله أينما كانت الدصلحة (dimana ada maslahat, disanalah ada hukum Allah). Menyadari bahwa tidak semua masalah kehidupan ini hukumnya ditemukan didalam al-Qur‟an dan as-Sunnah/Hadis, Islam meletakkan prinsip-prinsip umum dan kaidah-kaidah dasar yang dapat dijadikan oleh ahl az-Zikri (para mujtahid) untuk mengembangkan hukum Islam dan memecahkan masalah-masalah baru melalui ijtihad. Salah satu prinsip umum dan kaidah dasar yang diletakkan oleh Islam ialah bahwa tujuan pokok tujuan pensyar‟i atau hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan (jalb al-masalaih). Dari prinsip inilah prinsip para imam mujtahid dan pakar ushul fiqh mengembangkan hukum Islam dan berusaha memecahkan masalah-masalah baru yang dihadapi oleh umat Islam yang belum ada penegasan hukumnya di dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah melalui qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan sad az-Zari‟ah. Al-Ghazali (450–505 H.) sebagai pakar ushul fiqh dari kalangan madzhab Syafi‟i, mempunyai pemikiran-pemikiran yang cukup menarik tentang maslahah mursalah. Pandangannya tentang maslahah mursalah merupakan jalan tengah antara pihak-pihak yang sama sekali tidak mempergunakan maslahah mursalah sebagai dalil hukum dan mereka yang begitu berani dalam menjadikan maslahah mursalah.