Perkawinan Anak: Komparasi Fiqih Imam Syafi’i dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Abstract

Perkawinan merupakan bagian dari sunnatullah yang berlaku secara umum pada makhluk Allah yang berlainan jenis, termasuk pada manusia. Allah Swt menciptakan semua makhluk di dunia ini, termasuk manusia untuk hidup berpasang-pasangan antara yang satu dengan lainnya, yakni antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Agar pelaksanaan pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dianggap sah menurut ketentuan hukum agama Islam, maka harus memenuhi rukun-rukun pernikahan, seperti adanya wali dari pihak calon pengantin wanita, adanya dua orang saksi, sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki. Di samping memenuhi rukun-rukun pernikahan, seorang calon pengantin laki-laki dan seorang calon pengantin perempuan yang akan melangsungkan pernikahan harus mencapai usia akil baligh. Ketentuan Fiqih Imam Syafi’i terhadap perkawinan anak diperbolehkan apabila anak telah mencapai usia akil baligh dengan usia 15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Sementara ketentuan pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap pekawinan anak tidak diperbolehkan apabila tidak mencapai usia 19 tahun untuk anak laki-laki dan tidak mencapai usia 16 tahun untuk anak perempuan. Jadi ketentuan Fiqih Imam Syafi’i memperbolehkan menikahkan anak apabila sudah mencapai usia akil baligh atau berusia 15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memperbolehkan menikahkan anak laki-laki apabila masih belum mencapai usia 19 tahun dan anak perempuan apabila masih belum mencapai usia 16 tahun.