MENELAAH FEMINISME DALAM ISLAM

Abstract

Istilah “feminisme” dikenal di dunia Islam kira-kira sudah sejak awal abad ke-20, misalnya lewat pemikiran-pemikiran Aisyah Taymuniah (penulis dan penyair Mesir), Zainab Fawwaz (eseis Libanon), Rokeya Sakhawat Hosein, Nazzar Sajjad Haydar dan Ruete (Zanzibar), Taj Sultanah (Iran), Huda Sya’rawi, Malak Hifni Nasir dan Nabawiyah Musa (Mesir), Fatma Aliye (Turki). Semua mereka ini dikenal sebagai perintis-perintis besar dalam me­numbuh­kan ke­sadaran atas persoalan-persoalan sensitif gender, termasuk dalam melawan kebudaya­an dan ideologi masyarakat yang me­marginal­kan perempuan.Salah satu persoalan yang mendapatkan prioritas dalam feminisme Islam adalah soal “patriarkhi” yang oleh para feminis muslim sering dianggap sebagai asal usul dari seluruh ke­cenderungan “missoginis” yang menjadi dasar penulisan buku-buku teks keagamaan yang bias kepenting­an laki-laki. Kenyataan bahwa jarang sekali buku-buku dalam hal relasi gender yang ditulis oleh kaum perempuan sendiri berakibat bukan saja pada tidak tersentuhnya “perasaan” kaum per­empuan, namun juga memunculkan dominasi kepentingan laki-laki itu sendiri. Akibat berikut­nya, terbentuklah pemikiran-pemikiran atau masyarakat patriarkhi yang menomorduakan kemakhlukan perempuan. Sebagaimana feminisme pada umumnya, feminisme dalam Islam tidaklah muncul dari satu pemikiran teo­ritik dan gerakan tunggal yang berlaku bagi seluruh perempuan Di negara Islam. Secara umum feminisme Islam menjadi gerakan atau alat analisis yang selalu bersifat historis dan konstekstual seiring dengan kesadaran yang terus ber­kembang dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi per­empu­an menyangkut ke­tidakadil­an dan ke­tidaksetara­an. Istilah “feminisme” dikenal di dunia Islam kira-kira sudah sejak awal abad ke-20, misalnya lewat pemikiran-pemikiran Aisyah Taymuniah (penulis dan penyair Mesir), Zainab Fawwaz (eseis Libanon), Rokeya Sakhawat Hosein, Nazzar Sajjad Haydar dan Ruete (Zanzibar), Taj Sultanah (Iran), Huda Sya’rawi, Malak Hifni Nasir dan Nabawiyah Musa (Mesir), Fatma Aliye (Turki). Semua mereka ini dikenal sebagai perintis-perintis besar dalam me­numbuh­kan ke­sadaran atas persoalan-persoalan sensitif gender, termasuk dalam melawan kebudaya­an dan ideologi masyarakat yang me­marginal­kan perempuan.[1]Salah satu persoalan yang mendapatkan prioritas dalam feminisme Islam adalah soal “patriarkhi” yang oleh para feminis muslim sering dianggap sebagai asal usul dari seluruh ke­cenderungan “missoginis” yang menjadi dasar penulisan buku-buku teks keagamaan yang bias kepenting­an laki-laki. Kenyataan bahwa jarang sekali buku-buku dalam hal relasi gender yang ditulis oleh kaum perempuan sendiri berakibat bukan saja pada tidak tersentuhnya “perasaan” kaum per­empuan, namun juga memunculkan dominasi kepentingan laki-laki itu sendiri. Akibat berikut­nya, terbentuklah pemikiran-pemikiran atau masyarakat patriarkhi yang menomorduakan kemakhlukan perempuan. Sebagaimana feminisme pada umumnya, feminisme dalam Islam tidaklah muncul dari satu pemikiran teo­ritik dan gerakan tunggal yang berlaku bagi seluruh perempuan Di negara Islam. Secara umum feminisme Islam menjadi gerakan atau alat analisis yang selalu bersifat historis dan konstekstual seiring dengan kesadaran yang terus ber­kembang dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi per­empu­an menyangkut ke­tidakadil­an dan ke­tidaksetara­an.[1] Budhy Munawar-Rachman, “Islam dan Feminisme: Dari Sentralisme kepada Kesetaraan” dalam Mansour Fakih dkk., Membincang Feminisme, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 181-206.