Memaknai Aktifitas Belajar Sebagai Ibadah Dengan Kontekstualisasi Pemahaman Hadist Innamal A’malu Bin Niyat
Abstract
Learning or studying is an activity that must be carried out throughout the ages. Do not recognize age or gender. Does not recognize distance or geographical conditions. Since the primordial vows in the form of testimony to one divinity and Muhammad's prophethood were made, this obligation has been attached to him. However, this study does not intend to further explore the chapter on studying knowledge, the notes of which are well coded and neatly arranged in the classical books on hadith. Furthermore, the author would like to try to elaborate a hadith text which is neither textually nor contextually related to learning or studying problems. Namely the hadiths about everything depends on the intention. Looking at the asbabul wurud hadith, the context is related to the issue of hijrah. Namely, during the migration from Mecca to Medina, there were various intentions among the friends who had emigrated. Some are because of wealth, some are because of women, there are also those who are Lillahi ta'ala. A hadith, as well as the words of other great figures of the world, is always understood by various interpretations. Moreover, the great figure in question has long since died. Plus, the distance or time of his life is very far apart from the interpreter. Many years. Hundreds or even thousands of years. Of course what emerges is that there are various interpretations and understandings. Some are "letterleijk" as is or textual, there are also contextual ones that try to understand the hadith from its meaning. The difference in interpretation and understanding, of course, is influenced by several reasons. Different schools of thought (schools of thought), differences in the level of knowledge and breadth of insight, differences in culture between one place and another, are some things that need to be mentioned and are influential in this regard. Therefore, the study of hadiths both within the framework of "tahrijul hadith" which criticizes the hadith from the point of view of their sanad, eye and raw material is absolutely necessary. No less necessary is a semiotic and hermeneutic study of the meaning of the text and the context of the hadith in question. With the holding of these studies, it is hoped that there will be clarity of evidence that whether the hadith reached the Prophet or was interrupted on the way, in essence it is tsiqoh or not, also are there other traditions that contradict the hadith. Or maybe there are other narrators who are narrating the same hadith with different lafadz. However, the thing that is not less important than that is what and how exactly the Prophet meant in the hadith. Abstrak Belajar atau menuntut ilmu adalah suatu aktifitas yang harus dilakukan sepanjang usia. Tidak mengenal umur maupun jenis kelamin. Tidak mengenal jarak atupun keadaan geografis. Semenjak ikrar primordial yang berupa kesaksian terhadap ketuhanan yang satu dan kenabian Muhammad dikumandangkan, maka kewajiban itupun melekat pada dirinya. Namun studi ini tidak bermaksud lebih jauh mengupas bab tentang menuntut ilmu, yang nota benenya sudah terkodifikasi dengan baik dan tersusun rapih pada kitab-kitab klasik tentang hadist. Lebih jauh, penulis ingin mencoba mengelaborasi suatu teks hadist yang secara teks maupun konteksnya sama sekali tidak berkaitan dengan masalah belajar ataupun menuntut ilmu. Yakni hadist tentang segala sesuatu itu tergantung pada niatnya. Menengok pada asbabul wurud hadist, konteksnya adalah berkenaan dengan masalah hijrah. Yakni saat peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah, diantara para sahabat yang ikut berhijrah beragam niatnya. Ada yang karena harta, ada yang karena wanita ada juga yang Lillahi ta’ala. Sebuah hadist, sebagaimana juga perkataan tokoh-tokoh besar dunia lainnya, selalu difahami dengan berbagai macam penafsiran. Apalagi tokoh besar yang bersangkutan itu telah lama wafat. Ditambah lagi jarak masa atau waktu kehidupannya terpaut sangat jauh dengan sang interpreter. Berbilang tahun. Ratusan atau bahkan ribuan tahun. Tentu saja yang muncul adalah adanya beragam penafsiran dan pemahaman. Ada yang “letterleijk” apa adanya atau tekstual, ada juga yang kontekstual yang mencoba memahami hadist dari maksudnya. Perbedaan penafsiran dan pemahaman tersebut, sudah barang tentu dipengaruhi oleh beberapa sebab. Perbedaan aliran (madzhab dalam pemikiran), perbedaan tingkat ilmu pengetahuan dan keluasan wawasan, perbedaan kultur antara satu tempat dan tempat yang lain, adalah beberapa hal yang perlu disebut dan berpengaruh dalam hal ini. Oleh karena itu, kajian hadist baik dalam kerangka “tahrijul hadist” yang mengkritisi hadist dari segi sanad, matan maupun rawinya adalah mutlak diperlukan. Tak kalah perlunya juga adalah kajian semiotik maupun hermeneutik terhadap makna teks maupun konteks dari hadist yang dimaksud. Dengan diadakannya kajian-kajian tersebut diharapkan adanya kejelasan pembuktian bahwa apakah hadist tersebut sanadnya sampai ke Nabi ataukah terputus di jalan, rawinya tsiqoh ataukah tidak, juga adakah hadisat-hadist lain yang bertentangan dengan hadist tersebut. Atau barangkali ada perawi-perawi lain yang meriwayatkan hadist yang sama dengan lafadz yang berbeda. Namun hal yang tak kalah pentingnya dari itu adalah apa dan bagaimana sebenarnya yang dimaksud oleh Nabi dalam hadist tersebut.