PELAKSANAAN KONSEP AL RADD DALAM PEMBAGIAN WARIS BERDASARKAN HUKUM WARIS ISLAM

Abstract

Persoalan mengenai waris dalam tatanan kehidupan sehari-hari tidak bisa dianggap remeh, karena dalam hal ini waris merupakan masalah yang berkaitan dengan pembagian harta, yang bernilai sensitif yang jika tidak diselesaikan secara adil, maka sudah dipastikan akan berdampak pada timbulnya masalah. Hak waris kental kaitannya dengan masalah, untuk itulah pemahaman akan hak dan kewajiban seorang ahli waris sangat mempengaruhi dalam proses pembagian harta waris. Permasalahan hukum kewarisan dalam Islam yang mengandung kontroversi salah satunya adalah masalah <em>Al Radd. </em>Hal ini terjadi, apabila dalam pembagian harta waris terdapat sisa harta setelah ahli waris <em>ash-hab al-furudl </em>memperoleh bagiannya. Cara <em>AL Radd </em> ditempuh untuk mengembalikan sisa harta tersebut kepada waris<em> ash-hab al-furudl </em> seimbang dengan bagian yang diterima masing-masing secara proporsional. Caranya adalah mengurangi angka asal masalah, sehingga sama besarnya dengan jumlah bagian yang diterima oleh mereka. Apabila tidak ditempuh dengan cara <em>Al Radd  </em>akan menimbulkan persoalan siapa yang berhak menerimanya, sementara tidak ada ahli waris menerima <em>‘asobah</em>.Untuk mendeteksi terjadinya masalah <em>Al Radd </em>dapat diketahui apabila angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut yang pada dasarnya adalah merupakan kebalikan dari masalah ‘<em>aul, </em>karena <em>‘aul</em>  pada dasarnya kurangnya angka yang dibagi. Sedangkan <em>Al Radd </em> ada kelebihan setelah diadakan pembagian.  Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama, karena tidak ada nash yang <em>shahih</em>, baik dari AL Quran dan al-Hadits, yang mereka sepakati. Sehingga dalam hal ini ada beberapa ulama yang menolak tentang adanya masalah tersebut dalam pembagian harta waris, di antaranya Zait Bin Tsabit, Imam Malik dan Syafi’i. Menurut mereka apabila terdapat sisa harta setelah diambil bagiannya oleh ahli waris <em>ash-hab al-furudl </em>dan tidak terdapat ahli waris <em>‘ashabah</em>, maka sisa harta tersebut diserahkan kepada baitul maal. Sedangkan jumhur ulama menyetujui masalah tersebut dalam pembagian harta hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan ahli waris <em>ash-hab al-furudl</em> yang manakah yang berhak mendapatkan sisa harta tersebut.