TRADISI DALAM AL-QUR’AN ( Studi Tematik Paradigma Islam Nusantara dan Wahabi)
Abstract
Maraknya fenomena sikap dan pemahaman yang antipati terhadap tradisi di masyarakat Islam, seperti pengharaman selametan tiga hari, tujuh hari dari kematian, peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW (maulȗd an-Nabi) dan tradisi-tradisi lainnya, membuat resah sebagian masyarakat Islam, karena bagi sebagian umat Islam tradisi adalah sesuatu yang sangat sakral. Pelarangan dan penghapusan tradisi itu ada yang beralasan karena merupakan bentuk bid’ah, syirik, dan khurafat. Tradisi di dalam Al-Qur’an Allah SWT sebut dengan al’urf, yang maknanya adalah perkara yang baik (al-amru al-mustahsin), demikianlah Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan makna al-‘urf. Islam Nusantara dan Wahabi dalam dakwah dan ajarannya sama-sama mengajak manusia pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, berusaha mengembalikan masyarakat Islam pada ajaran Islam yang benar, yaitu kembali dari praktek tradisi-tradisi yang dianggap bid’ah, syirik dan khurafat tersebut kepada ajaran Islam yang benar. Tanpa melihat apakah tradisi itu bertentangan dengan syari’at atau tidak, Islam Nusantara berdakwah dengan tidak memberhangus tradisi, bahkan menjadikan tradisi itu terasimilasi dengan ajaran Islam, dan ini sebagaimana yang digaung-gaungkan oleh tokoh-tokoh Islam Nusantara seperti Abdurrahman Wahid (Gusdur) dengan wacana pribumisasi Islam, Hasbi As-Shidqi dengan wacana Fikih Indonesia, serta tokoh tokoh lainnya seperti Abdul Muqsith Ghazali, Akhmad Sahl, Nurcholish majid, Afifudin Muhajir, dan Said Aqil Siraj. Adapun Wahabi berusaha untuk menghapuskan tradisi, tradisi-tradisi yang ada di masyarakat. Seperti dengan konsep pemurnian tauhid tokoh utamanya Muhammad bin Abdul Wahhab saat itu menolak tradisi yang dianggap penuh dengan kebid’ahan dan mengandung unsur syirik. Ini juga sesuai dengan pemahaman Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Ahmad bin Abdul Halim Al-Harani Ad-Dimasyqi dan Muhammad bin Abdus Salâm Khadr As Syuqairy