Tinjauan Hukum Islam Terhadap Wali Nikah Anak Perempuan yang Lahir Kurang dari Enam Bulan

Abstract

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada orang laki-laki dan perempuan yang mampu dalam hal ini yang disapa adalah generasi muda (asy-syabâb) untuk segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Islam mengatur dengan baik dan detail, dengan syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyariatkannya perkawinan untuk membina rumah tangga dan melanjutkan keturunan serta mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah dapat tercapai. Di Kabupaten Wonosobo tepatnya di Kecamatan Sukoharjo pernah terjadi masalah mengenai kedudukan wali nikah bagi anak perempuan yang lahir kurang dari enam bulan. Permasalahan tersebut muncul karena terjadi sebuah pelanggaran norma agama dan susila yang dilakukan oleh orang tua terdahulu sehingga mereka telah hamil diluar nikah yang mengakibatkan bayi yang ia lahirkan tersebut dianggap sebagai anak lahir premature atau kurang dari batas minimal yang ditetapkan oleh Hukum Islam maupun Hukum Negara. Atas dasar kasus tersebut, mengenai wali nikah anak perempuan yang lahir kurang dari enam bulan, Kepala KUA Sukoharjo mengambil kebijakan dengan mengacu kepada Fiqh dan KHI Pasal 100. Namun lebih mengutamakan Fiqh sebagai dasar utama untuk menetukan wali nikah tersebut. Menurut Fiqh Imam Syafi'i apabila kandungan tersebut lahir kurang dari enam bulan setelah umur perkawinannya maka walinya ialah wali hakim. Jadi anak yang lahir tersebut adalah anak ibunya saja  (binti ibu) atau lebih tepatnya anak tersebut dinasabkan kepada ibunya.