Tafsir al-Qur’ān Corak Sastrawi dan Teologis

Abstract

Penelitian ini mengangkat judul “Tafsir al-Qur’ān Corak Sastrawi dan Teologis (Study kritis Tafsir al-Kasysyāf Karya al-Zamakhsyari pada ayat-ayat muḥkam-mutasyābih). Al-Kasysyāf sebagai salah satu kitab tafsir yang lahir ketika masa keemasan Islam, kitab tafsir yang terdiri dari empat jilid ini dipandang sementara para peneliti terdahulu sebagai kitab yang bernuansa sastrawi yang Mu’tazili. Atas penelitian terdahulu itu, sehingga al-Kasysyāf mendapat dua kedudukan, pertama sebagai tafsir yang dipandang positif karena pembahasannya yang banyak meneliti keagungan al-Qur’ān dari segi bahasanya, kedua tafsir ini juga dipandang banyak peneliti dengan nada negatif karena adanya unsur teologi Mu’tazili yang mewarnai penafsirannya. Unsur Mu’tazili dalam tafsir ini terlihat ketika al-Zamakhsyari menafsirkan ayat-ayat muḥkam-mutasyābih. Penelitian ini termasuk penelitian pustaka (library research) yang menggunakan data-data kepustakaan dan menggunakan metode deskriptif-analitis yaitu dengan memberikan gambaran yang komprehensif mengenai penafsiran al-Zamakhsyari terhadap ayat-ayat muḥkam-mutasyābih dalam tafsir al-Kasysyāf dengan pendekatan content analysis. Pemaparan data berkisar pada penafsiran al-Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyāf terhadap ayat-ayat muḥkam-mutasyābih dengan corak tafsirnya yang sastrawi dan teologis, kemudian dianalisis dan disimpulkan. Dari hasil analisis pada penelitian ini, al-Zamakhsyari memahami bahwa muḥkam adalah ungkapannya pasti, terjaga dari kemungkinan dan kerancuan arti, sedangkan mutasyābih adalah ayat-ayat yang mengandung arti yang relatif (kemungkinan). Ketika ada dua ayat yang makna zahirnya terlihat bertentangan, maka salah satu ayat dipandangnya sebagai ayat mutasyābih, karena ayat-ayat muḥkam itu merupakan ummu al-kitab (pokok al-Qur’ān), maka menurutnya ayat-ayat mutasyābih harus mengacu dan dikembalikan kepada ayat-ayat muḥkam. Dalam menjelaskan ayat-ayat yang dipandangnya sebagai ayat mutasyābih, al-Zamakhsyari menggunakan segenap kemampuannya dengan menggunakan ilmu Bayan khususnya teori majāz, isti‘ārah, dan tamṡīl sebagai langkah ta’wīl untuk melahirkan makna baru.