PEMBAGIAN WARIS PADA MASYARAKAT BIMA DI TINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

Abstract

Pembagian waris pada masyarakat Bima sangat mengedepankan asas hukum Islam yang dianggap sebagai yang utama untuk menyelesaikan persoalan waris tersebut. Namun disisi lain juga justru persoalan warisan menjadi salah satu aspek yang menimbulkan perselisihan yang berimbas pada renggangnya silaturahmi antara sesama saudara kandung, paman, bibi, dan bukan saaudara kandung. Bahkan yang lebih parah lagi adalah mengklaim warisan milik anak yatim dan piatu hanya karena hubungan sedarah dengan orang tua anak tersebut. Perilaku tersebut disebabkan karena menganggap anak yang ditinggalkan tersebut tidak memiliki pendidikan atau pemahaman tentang masalah tersebut. Tulisan ini mencoba mengurai pola pembagian waris pada masyarakat Bima di tinjau dari aspek sosiologi hukum. Tulisan ini akan menggunakan pendekatan sosiologi Hukum dengan teori Hukum sebagai perilku sosial. Digunakan untuk melihat implementasi perubahan perilaku kehidupan masyarakat Bima dalam hal pembagian harta waris. Persoalan warisan menjadi salah satu aspek yang menimbulkan perselisihan yang berimbas pada renggangnya silaturahmi antara sesama saudara kandung, paman, bibi, dan bukan saaudara kandung. Bahkan yang lebih parah lagi adalah mengklaim warisan milik anak yatim dan piatu hanya karena hubungan sedarah dengan orang tua anak tersebut. Dalam pembagian warisan, ada kecenderungan yang dilakukan oleh masyarakat, bahwa tanah warisan yang dibawah oleh bapak akan diwariskan kepada anak laki-laki jika punya anak laki-laki; sedangkan tanah warisan yang dibawah oleh ibu cenderung menjadi bagian warisan anak perempuan, kecuali tidak ada anak perempuan turun ke anak laki-laki dan sebaliknya. Namun ada juga pembagian warisan dilakukan berdasarkan atas dasar kesepakatan bersama tanpa membedakan haarta bawaan masing-masing (suami atau istri).