HUKUM MENJADI IMAM SHALAT ANAK HASIL ZINA DAN ORANG YANG TIDAK JELAS ASAL USULNYA

Abstract

Shalat adalah merupakan sebuah ibadah utama bagi umat Islam, ia juga termasuk dalam kategori ibadah mahdhah yang memang sejak jaman Rasulullah Saw. telah dijalankan oleh Nabi Saw. dan sahabat-sahabatnya. Begitu utamanya ibadah ini, bahkan keimanan atau keIslaman sesorang akan di nilai dari ibadaha shalatnya, dalam beberapa hadits dijelaskan bahwa perbedaan mendasar dari seorang Muslim dan Nonmuslim adalah shalatnya, maka barang siapa tidak melaksanakan shalat maka kafirlah ia. Dalam hadits lain juga dijelaskan bahwa amalan pertama yang di hisab (hitung) oleh Allah Swt., pada hari ditimbangnya amal di padang mahsyar adalah shalat. Pada jaman Rasulullah Saw. masih hidup, yang menjadi imam shalat adalah Rasulullah sendiri, beliau tidak pernah menunjuk seorangpun dari sahabatnya; baik Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan ataupun Ali bin Abi Thalib untuk menjadi imam dalam shalat. Hal tersebut dikarenakan beliau merasa tiada orang yang lebih pantas dan lebih baik kualitas keimanannya kecuali beliau sendiri. Hingga pada masa akhir hidupnya, beliau benar-benar merasa tidak mampu lagi untuk menjadi imam, maka baru beliau menunjuk Abu Bakar untuk menggantikannya. Penunjukan tersebut selain karena beliau merasa sudah tidak mampu lagi dan juga menjadi tutntunan bahwa Abu Bakar adalah orang yang lebih baik kualitas keimanannya setelah Rasulullah Saw., tampa menafikan keimanan para sahabat-sahabat mulia lainnya. Selain itu juga menurut kesepakatan para sahabat menjadi indikator utama bahwa Abu Bakar adalah orang yang pantas menggantikannya untuk meneruskan estafet kepemimpinan, yaitu menjadi khalifah pertama setelah beliau Saw. wafat. Artinya untuk menjadi seorang imam atau pemimpin dalam shalat hendaknya orang yang memang sudah di anggap mumpuni dan keimanannya tidak diragukan lagi. Lalu bagaimana hukum menjadi imam shalat bagi seorang yang oleh masyarakat umum telah diketahui bahwa ia adalah anak hasil zina, apakah sah shalat orang yang bermakmum terhadap orang tersebut, serta bagaimana juga hukum bermakmum kepada orang tidak diketahui asal usulnya, dalam artian bahwa dia adalah orang baru yang tidak diketahui siapa orang tersebut dan seberapa pahamnya ia dalam agama Islam. Maka inilah yang ingin di bahas oleh penulis, yang mudah-mudahan menjadi bahan pertimbangan dan ilmu bagi penulis sendiri maupun para pembaca.