Hegemoni Kesetaraan Gender Pada Film Kartini Karya Hanung Bramantyo

Abstract

Artikel ini mendeskripsikan penerimaan atau resepsi dunia Islam pada konsepsi kesetaraan gender. Kajian ini mengeksplorasi posisi audien dalam meresepsi pesan-pesan kesetaraan gender dalam Film Kartini karya Hanung Bramantyo. Data diambil dari wawancara audien Film. Mereka adalah perempuan yang aktif di Ormas Perempuan Islam. Penonton film relatif berkomentar tentang kesuksesan film sebagai media penyebaran gagasan dan nilai-nilai kesetaraan gender. Mereka menerima nilai-nilai equality secara terbuka dan bulat pada konsepsi kesetaraan gender secara dominan hegemonik. Hal ini mematahkan asumsi dominan tentang negara Islam anti konsep kesetaraan gender. Islam selalu dipandang sebagai barrier atau penghalang kesetaraan gender. Kultur negara Islam di nilai sangat patriarkal sehingga sulit mewujudkan kesadaran gender di kawasan tersebut. Paper ini menerangkan tentang Indonesia dengan mayoritas Islam sebagai promotor kesadaran kesetaraan gender. Hal tersebut memunculkan interpretasi tidak bias, genuine, dinamis, dan berkemajuan untuk menghapus ortodoksi, jumud, dan kental budaya patriarkhal. Film Kartini membawah masyarakat dunia bersikap optimis pada Indonesia dalam kesetaraan gender. Ini adalah harapan Kartini yang tertuang dalam “Habis gelap terbitlah terang”.[The article talks about the acceptance or reception of the Islamic world on the conception of gender equality. The study explores the position of the audience in perceiving messages of gender equality in Hanung Bramantyo's Kartini film. Data were taken from film audience interviews. They are women who are active in Islamic Women's Organizations. Film viewers relatively comment on the success of films as a medium for disseminating ideas and values of gender equality. They accept the importance of equality openly and unanimously in the dominant hegemonic conception of gender equality. It breaks the prevalent assumption of an Islamic territorial against the concept of gender equality. Islam has been seen as a barrier to gender equality. Islamic culture is considered patriarchal, making it challenging to create gender awareness in the region. This paper describes Indonesia with a Muslim majority as a promoter of gender equality awareness. It gives rise to an unbiased, genuine, dynamic, and progressive interpretation to erase orthodoxy, old age, and patriarchal. Kartini's film leads the world community to be optimistic about Indonesia on gender equality. This is Kartini's hope, which is stated in "After the dark comes light."]