Wacana Keulamaan Perempuan Dalam Teks Ikrar Kebon Jambu

Abstract

Berbagai macam praktik marginalisasi dan diskriminasi lekat dengan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya adalah dalam bidang keilmuan agama. Gelar ulama seolah hanya milik laki­laki semata. Seolah status, label dan segala hal yang melekat pada “ulama” tidak bisa diraih kaum perempuan. Sebagaimana tindakan marginalisasi yang membutuhkan perjuangan meraih kesetaraan dan keadilan gender (gender equality), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pun terlaksana pada 27 April 2017 di Cirebon, Jawa Barat. Sejumlah gagasan dan ide terlahir dari gebrakan pertama kalinya bagi perempuan dalam bidang keilmuan agama Islam. Salah satu hasil KUPI adalah adanya Ikrar Kebon Jambu Tentang Keulamaan Perempuan. Teks tersebut menarik dikaji dan diketahui dengan pesan ideologi feminis yang dihadirkan kepada khalayak untuk melawan ideologi dominan yang tentang label ulama yang lebih identik dengan laki­laki. Lalu, bagaimana pola strategi ideologi feminis ini dilancarkan dalam teks Ikrar Kebon Jambu tersebut sangatlah menarik untuk diketahui. Penelitian ini berfokus pada menjawab per­ tanyaan­pertanyaan tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisis wacana kritis model Sara Mills. Hasilnya, melalui instrumen posisi subyek­obyek, KUPI hendak menghadirkan sosok perempuan sebagai subyek yang juga cakap dan layak menekuni keilmuan Islam, yang selanjutnya disebut ulama perempuan. Sementara dari instrumen posisi pembaca, KUPI hendak mencari dukungan dan melawan ideologi dominan tanpa mencari musuh, termasuk laki­laki. Bahkan, pesan feminis yang dihadirkan dalam teks ikrar justru menuntut kesetaraan ulama perempuan dan ulama laki­laki tanpa menganggap laki­laki musuh ataupun rival. Namun, ulama laki­laki dihadirkan sebagai partner dalam pengembangan keilmuan Islam dan bersama­ sama mewujudkan tugas ulama. Teks tersebut menggunakan pola strategi wacana dengan kekuatan tiga ideologi di masyarakat, yakni ideologi feminis, Islam dan nasionalis.[Various practices of marginalization and discrimination are closely related to women in various aspects of life. One of them is in the field of religious knowledge. The title of the ulema seems to belong only to men. As seem like the status, label, and all things attached to “ulema” cannot be achieved by women. As a marginalization that requires the struggle for gender equality and equity, the Indonesian Ulema Women’s Congress (KUPI) was held on 27 April 2017 in Cirebon, West Java. Some ideas arise from the first breakthrough for women in the Islamic religious knowledge sector. One of the results of KUPI is the existence of the Kebon Jambu Pledge about Ulema women. The text is interestingly studied because of it brings feminist ideology to counter dominant ideology, about the ulema label that is more identical to men. Then, how the pattern of feminist ideology strategy is launched in the text of the Kebon Jambu Pledge text is very interesting to know. This study focuses on answering these questions. The research method used in this paper is a critical discourse analysis of the Sara Mills model. As a result, through the instrument of the subjects ­ object position, KUPI wants to introduce a female figure as a subject who is also proficient and worthy to pursue Islamic knowledge, then referred to as women ulema. While from the reader’s perspective, KUPI seeks support to against the dominant ideology without seeking enemies, including men. In fact, the feminist message presented in the text of the pledge actually demands equality between female ulema and male ulema, without considering male ulema as rivals. However, male ulema is presented as partners in the development of Islamic knowledge and together carries out the task of the ulema. The text uses a discourse strategy pattern with the power of three ideologies in society, namely feminist, Islamic and nationalist ideologies.]