Agama dan Negara Menakar Pandangan HTI tentang Khilafah dan Demokrasi

Abstract

Persoalan yang kerap kali menjadi pembicaraan di kalangan para pemikir muslim adalah terkait hubungan antara agama dan negara. Persoalan ini sering menimbulkan kontroversi sehingga masalah ini terkesan belum tuntas terjawab.Untuk itulah, artikel ini mengetengahkan hubungan Agama dan Negara dalam pandangan Hizbut Tahir Indonesia (HTI), terkait khilafah dan demokrasi.Perdebatan khilafah dan demokrasi terjadi antaraAzyumardi Azra dengan M. Ismail Yusanto. Azyumardi Azra menulis di Kompas dengan judul “Relevansi Khilafah di Indonesia”, menyarankan supaya HTI untuk lebih realistis dengan cara berdemokrasi  yakni membentuk parpol modern dan bertarung di panggung perpolitikan Indonesia. Menurut Azyumardi Azra kelayakan (viability) gagasan khilafah dalam konteks Indonesia modern memang pantas dipertanyakan. Gagasan itu lebih merupakan romantisme masa lalu yang tidak relevan dengan realitas zaman sekarang. Sudah barang tentu HTI sulit menerima sanggahan ini sebagaimana terlihat dalam tanggapan juru bicara HTI, M. Ismail Yusanto yang balik mempertanyakan kelayakan argumentasi Azyumardi terutama pemahamannya atas QS: 2/30. Sebagai sejarawan, Azyumardi mendasarkan argumentasinya pada bukti-bukti historis pelaksanaan konsep khilafah sepanjang sejarah, sementara Yusanto berpijak pada landasan normatif. Perbedaan pijakan inilah sesungguhnya yang menjadikan pemahaman mereka atas konsep khilafah tidak bisa bertemu. Penalaran normatif yang kontroversial oleh Yusanto dan keengganan Azymardiuntuk sedikit keluar dari “rumah sejarah” nya telah membuat isu khilafah semakin sulit diposisikan dalam prioritas daftar “pekerjaan rumah” umat Islam Indonesia. Bagi Yusanto dan simpatisan HTI, isu ini dianggap demikian krusial.Sementara bagi Azymardi ini tak lebih dari sekedar romantisme yang tak perlu diperpanjang. Pernyataan Yusanto bahwa menegakkan khilafah adalah perintah Allah dan Nabi masih mambingungkan. Apakah yang dimaksud khilafah itu adalah system pemerintahan yang mengacu pada Negara Madinah abad ke-7 M ataukah kepemimpinan secara umum, belum ditegaskan. Akibatnya, Azyumardi denganfeeling historisnya memahami bahwa khilafah yang dimaksud adalah sistem pemerintahan Negara Madinah, sementara Yusanto bersikap mendua.Pernyataannya mengarah pada sistem pemerintahan tetapi bukti normatif yang dipakainya menunjukkan khilafah dalam pemaknaan kepemimpinan secara umum.[Religion and state become an interesting topic among Muslim intellectuals. This topic often causes controversy so that this problem has not been completely solved. For that reason, this article explores the relationship between religion and state in the view of Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) about caliphate and democracy. The debate on caliphate and democracy occurs between Azyumardi Azra and M. Ismail Yusanto. Azyumardi Azra wrote on Kompas “the relevance of caliphate in Indonesia”. In his article, he suggested HTI be more realistic in the way of democracy to form a modern political party to be involved in the world of Indonesian politics. According to Azyumardi Azra, the viability of the idea of the caliphate in modern Indonesia context is really should be questioned. This idea is more likely to be romanticism of the past which is not relevant to the present days. Surely, HTI would not just accept this refutation as the spokesman of HTI, M. Ismail Yusanto, responded and questioned the argumentation of Azyumardi especially his understanding about QS: 2/30. As a historian, Azyumardi bases his argument on historical proof throughout the implementation of the caliphate in history. Meanwhile, Yusanto only bases on the normative foundation. This difference in footing makes their understanding of the concept of the caliphate cannot be met. The normative and controversial understanding by Yusanto and the reluctance of Azyumardi to just think a bit outside his “historical house” have made the caliphate issue difficult to be placed on the priority list of Indonesian Muslim “homework”. To Yusanto and HTI followers, this issue is so crucial. While to Azyumardi this is no more than just romanticism that need not be extended. Yusanto’s statement, that upholding Khilafah is the command of Allah and the Prophet, is still confusing. Whether caliphate is the system of government that refers to the Medina State.]