BLESSING IN DISGUISE TEORI RECEPTIE: DAMPAK TEORI RECEPTIE PADA TRADISI PENYALINAN DAN PENULISAN ULANG MANUSKRIP HUKUM ADAT DAN UNDANG-UNDANG KERAJAAN ISLAM NUSANTARA
Abstract
Kebijakan politik penjajah Belanda di akhir abad 19 dan awal abad 20 adalah menindaklanjuti rekomendasi kajian Snouck Hurgronje terutama dalam kontek hubungan Islam dengan politik dan hubungan Islam dengan adat. Salah satu rekomendasinya adalah Islam harus dipisahkan dari aspek politik. Dalam hal relasi dengan hukum adat, hukum Islam baru dapat diberlakukan ketika tidak bertentangan dengan hukum adat atau dapat pengakuan dari hukum adat, yang kemudian di kalangan ahli hukum adat dikenal dengan teori receptie. Implementasi teori receptie ini bernilai negatif bagi eksistensi hukum Islam. Namun demikian, sisi positifnya tidak bisa diabaikan. Beberapa kebijakan yang dilakukan penjajah adalah memobilisasi kerajaan-kerajaan di nusantara untuk melakukan transmisi naskah berupa penyalinan, penulisan ulang dan pembukuan kitab-kitab undang-undang kerajaan dan hukum adat yang berlaku saat itu. Penelitian ini merupakan studi dokumen naskah hukum adat dan naskah undang-undang yang pernah diberlakukan di beberapa kerajaan Islam Nusantara dengan mencermati masa penulisan, pengundangan, dan penyalinan ulang. Dalam analisisnya dilengkapi dengan pendekatan sejarah. Temuan penelitian ini menyatakan pasca penerimaan teori receptie, pelaksanaan penulisan ulang dokumen hukum adat cukup intensif dan mengalami puncaknya ketika dibukukan dalam adatrechtbundels yang berjumlah 45 jilid. Jilid I dicetak pertama kali pada tahun 1910 M. Dengan pembukuan tersebut, Pemerintah Belanda ingin menegaskan bahwa hukum yang berlaku di masyarakat adalah hukum adat. Padahal, dengan mengunggulkan hukum adat, pada hakikatnya mengunggulkan hukum Islam juga.