KEDUDUKAN KEPALA NEGARA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM (Analisis Kritis terhadap Peran Khalifah dalam Dustûr al-Islâmy Hizbut Tahrir)

Abstract

Kepala negara sebagai pemimpin organisasi pemerintahan memiliki kedudukan yang strategis dalam sebuah sistem kenegaraan. Hizbut Tahrir dalam Rancangan Undang Undang Islam (Dustûr al-Islâmy) yang disusun pertama kali oleh Taqiyuddin An-Nabhani bahkan mewacanakan kekuasaan besar di tangan kepala negara. Seorang khalifah (kepala negara) tidak hanya dominan di sektor eksekutif, namun juga memiliki peran yang penting di sektor legislatif dan yudikatif sebagaimana teori trias politica. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa secara kritis peran khalifah dalam sistem pemerintahan Islam yang diwacanakan Hizbut Tahrir. Hal ini menjadi penting karena pengaturan dunia politik dan kenegaraan tidak dapat semata-mata didasarkan atas fakta historis peradaban Islam dan mengabaikan perkembangan kebutuhan zaman dan faktor sosiologis. Aturan tentang khalifah yang terdapat dalam Dustûr al-Islâmi Hizbut Tahrir sangat tampak masih terpengaruh kuat dari sejarah peradaban Islam pada masa Rasulullah dan Khulafâ’ al-Rasyidûn. Pemberian kekuasaan yang sangat besar kepada seorang khalîfah didasari atas asumsi kualitas personal seorang khalifah yang setara dengan Nabi dan para Sahabat pilihan. Tentu hal yang demikian kurang tepat untuk diterapkan pada era kini. Oleh karenanya, kekuasaan kepala negara harus dibatasi dan memiliki penyeimbang. Dalam konteks ini, tawaran sistem demokrasi modern melalui mekanisme pemisahan maupun pembagian kekuasaan dapat menjadi tawaran untuk memodifikasi sistem kekhalifahan Hizbut Tahrir untuk mencapai tujuan ideal ‘pemerintahan Islam’.