PEMAHAMAN HADIS SEPUTAR SHALAT TARAWIH DI KALANGAN MUHAMMADIYAH DAN NAHDHATUL ULAMA

Abstract

In the present and Indonesian context, especially among the largest organizations in Indonesia, Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama, the implementation of tarawih prayers at the two organizations obviously very different. In terms of the provisions that the tarawih prayer are acts of worship performed in the month of Ramadan, the time is after the evening prayers. Tarawih prayers can be done in congregation, and by means munfarid (alone), tarawih prayer is Sunnah muakad, Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama have a common view. In other words, some of these things there is no deviation or agreed upon by scholarly, including from the NU and Muhammadiyah. Nevertheless, on how to implement it, there are many deviation between Muhammadiyah and Nahdlatul ulama. Among NU members tarawih prayers normally done with 20 raka'at, 2 raka'at a greeting and ended with three rak'ah Witr. While among the residents of Muhammadiyah, the usual tarawih held 8 raka'at, and concludes with 3 raka'at witir. On the implementation of the closing witr prayer tarawih prayers there any deviation. Muhammadiyah among three rak'ah Witr prayer ent once greeting, and no qunut in the last half of the month of Ramadan. While NU pray witr 3 raka'at with two raka'at greeting, and one raka'at greetings, also qunut witir in the last half of the month of Ramadan. What has been practiced among the Muhammadiyah is actually different from what is described in the book of Muhammadiyah Tarjih Decision regarding the number raka'at tarawih prayers. In Decision Tarjih Muhammadiyah explained that the number raka’at plus witr tarawih prayers should not be 11 raka'at (including witir), but can be less than that, so long as the number of it raka'at is odd. Similarly to pray Witr, Tarjih institutions Muhammadiyah offers several options, not just 3 raka'at alone. ABSTRAK Dalam konteks kekinian dan keindonesiaan, terutama di kalangan organisasi terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, pelaksanaan shalat tarāwih pada kedua organisasi tersebut secara nyata sangat berbeda. Dalam hal ketentuan bahwa shalat tarāwih adalah ibadah yang khusus dikerjakan pada bulan Ramadan, waktunya adalah setelah shalat Isya. Shalat Tarāwih bisa di-kerjakan berjamaah, maupun dengan cara munfarid (sendiri), Shalat Tarāwih hukumnya sunnah muakad, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama memiliki kesamaan pandangan. Dengan kata lain, beberapa hal tersebut tidak terdapat ikhtilaf atau disepakati oleh jumhur ulama, termasuk dari kalangan NU maupun Muhammadiyah. Namun demikian, pada cara pelaksanaannya, terjadi ikhtilaf yang banyak antara Muhammadiyah dan Nahdhatul ulama. Di kalangan warga NU shalat tarāwih biasa dikerjakan dengan 20 raka’at, 2 raka’at sekali salam dan diakhiri dengan 3 raka’at witir. Sementara di kalangan warga Muhammadiyah, tarāwih biasa dilaksanakan 8 raka’at, dan diakhiri dengan 3 raka’at witir. Pada pelaksanaan shalat witir yang menutup shalat tarāwih pun terdapat ikhtilāf. Kalangan Muhammadiyah elakukan shalat witir tiga raka’at sekali salam, dan tidak ada qunut pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan NU melakukan shalat witir 3 raka’at dengan dua raka’at salam, dan satu raka’at salam, juga qunut witir pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Apa yang sudah dipraktekkan di kalangan Muhammadiyah tersebut sebenarnya berbeda dengan apa yang diterangkan dalam kitab Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai jumlah raka’at shalat tarāwih. Dalam Putusan Tarjih Muhammadiyah diterangkan bahwa jumlah rakakat shalat tarāwih plus witir tidak harus 11 raka’at (sudah termasuk witir), tetapi bisa kurang dari itu, asalkan jumlah raka’atnya ganjil. Demikian pula untuk shalat witir, Tarjih lembaga Muhammadiyah memberikan beberapa pilihan, tidak hanya 3 raka’at saja.