Pedagang Kaki Lima Perspektif Ekonomi Islam
Abstract
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu bentuk usaha yang mempunyai jiwa kewirausahaan yang tinggi dan mampu bersaing di tengah persaingan perekonomian. Keberadaan PKL cenderung dilatar belakangi persoalan minimnya lapangan pekerjaan yang di sediakan oleh pemerintah, upaya bertahan hidup, minimnya modal usaha disektor formal, aturan dan birokrasi yang rumit, pekerjaan sementara dan faktor keturunan serta profesi, menjadikan usaha PKL sebagai salah satu alternative yang dapat di lakukan oleh masyarakat. PKL atau dalam bahasa inggris disebut juga street trader selalu dimasukkan dalam sektor informal. PKL adalah orang yang berdagang menggunakan gerobak atau menggelar dagangannya di pinggir-pinggir jalan atau trotoar jalan kota di sekitar pusat perbelanjaan/pertokoan, pasar, pusat rekreasi/hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dengan tidak melibatkan pihak lain secara terikat. Istilah pedagang kaki lima pertama kali dikenal pada zaman Hindia Belanda, tepatnya pada saat Gubernur Jenderal Stanford Raffles berkuasa. Perkembangan pedagang kaki lima dalam lintas sejarah perekonomian umat manusia mengalami kemajuan dan kemoderenan. Ketidakpuasaan dengan kebijakan pemerintah terkait pengalokasian para pelaku PKL, melahirkan pedagang yang turun ke masyarakat secara langsung, yang disebut dengan pasar kaget. Padangan Islam terhadap PKL adalah sebagi wujud berekerja keras, namun dalam pelaksanaan perdagangan PKL mesti mematuhi symbol-simbol syariat, mislanya jujur, amanah, tidak menipu dan menepati janji. Berkaitan dengan pemimpin atau penguasa, maka Islam memandang PKL dibenarkan jika ada kesepakatan dengan pemerintah dan tidak menganggu kepentingan umum yang lebih maslahat.