TANGGAPAN TEOLOGIS TERHADAP PEMILIHAN KEPALA DAERAH DKI JAKARTA 2017-2022: SEBUAH REFLEKSI
Abstract
Artikel ini merefeksikan kembali peristiwa ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maju kembali dalam kontestasi pada Pilkada DKI Jakarta beberapa tahun yang lalu. Persoalan Pilkada DKI Jakarta ini menjadi semakin sukar bermula ketika Pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 diedit dan diunggah oleh Buni Yani ke media sosial. Pidato Ahok kemudian mengundang reaksi dari kalangan masyarakat Islam di Indonesia menuntut akan keadilan hukum di Indonesia. Ahok dianggap sebagai penista agama meskipun di kalangan Islam ada yang berpendapat berbeda bahwa ucapan Ahok tidak ada unsur menistakan agama Islam. Isu penistaan agama ini kemudian dipolitisasi oleh pihak lawan Ahok-Djarot baik melalui media sosial, ceramah yang dilakukan di masjid-masjid maupun dengan melakukan mobilisasi massa yang dengan tujuan yang sama yaitu membangun narasi politik untuk tidak memilih Ahok yang adalah orang ‘kafir’ (Kristen) dan juga keturunan etnis Tionghoa yang dianggap non-pribumi. Keberadaan Ahok ini merepresentasikan dari identitas pluralisme di Indonesia. Maka serangan politik identitas ini bertujuan untuk mengalahkan lawan politiknya tetapi secara langsung merupakan gerakan anti pluralisme. Melalui artikel ini penulis hendak menganalisis, memberikan tanggapan teologis dengan mengunakan pendekatan literatur kepustakaan maupun hasil wawancara. Temuan dari penelitian ini ialah, agar di masa mendatang jalannya pesta demokrasi dapat lebih beradab dan menempatkan agama pada porsi yang tepat yaitu membina karakter dan membangun spritualitas anak bangsa bukan malah sebaliknya masuk ke dalam ruang politik praktis yang nantinya dapat merusak martabat dari agama itu sendiri sekaligus menumpulkan kepekaan hati nurani anak bangsa dalam memilih calon pemimpin politik yang ingin mengabadikan dirinya bagi kepentingan orang banyak.