Potret Harmoni Kehidupan Keagamaan di Kabupaten Bojonegoro
Abstract
This study aims to investigate the reasons why violence and religious conflict occurred in Bojonegoro district do not lead to radical actions. Departing from the fundamental question, “why does violence and religious conflict not extend into radical actions even though the potential for religious radicalization exists and even explode into destructive social conflict?”, this study found that there are two main factors that make religious life among believers in Bojonegoro keep running in balance and harmonious way, namely cultural and structural factors. The most important cultural factor is the existence of cross-cutting affiliation where there are neutral social spaces that make people from different backgrounds meet without being troubled by their primordial identity. Meanwhile, structural factors that prevent radical action and religious conflict are the presence of the State as a neutral and decisive party; institutionalization of assurance of freedom of faith; and the activeness of the State in early prevention and conflict mediation. [ Studi ini bertujuan untuk melihat mengapa di wilayah Bojonegoro kekerasan dan konflik keagamaan nyaris tidak pernah meledak secara berarti. Berangkat dari pertanyaan mendasar, faktor-faktor apakah yang menyebabkan tidak terjadi proses radikalisasi keagamaan, sekalipun terdapat beberapa potensi konflik yang sebetulnya bisa meledak menjadi kekerasan atau konflik sosial yang destruktif, penelitian ini menemukan bahwa ada dua faktor penting yang mampu menjaga kehidupan keagamaan masyarakat Bojonegoro tetap seimbang, yaitu kultural dan struktural. Faktor kultural terpenting adalah bekerjanya cross-cutting affiliation. Terdapat ruang-ruang sosial netral yang mempertemukan orang-orang dari latar belakang berbeda, tanpa dibebani oleh identitas-identitas primordial. Sementara, faktor struktural yang mencegah radikalisasi dan konflik keagamaan adalah hadirnya negara sebagai pihak yang netral dan tegas; institusionalisasi jaminan kebebasan berkeyakinan; dan keaktifan negara dalam melakukan pencegahan dini dan memediasi konflik.]