Contextualizing Kymlicka’s Multicultural Citizenship in Surabaya
Abstract
Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya memiliki daya tarik yang luar biasa dalam proses urbanisasi, yang secara tidak langsung telah menanamkan benih-benih keragaman di kota ini. Warga kota Surabaya adalah penduduk yang egaliter dan terbuka. Selain penduduk asli yang biasa disebut arek soerabaya, ada juga penduduk pendatang yang berasal dari Madura, Arab, Cina, Ambon, Bugis, dan Melayu. Kelompok-kelompok ini hidup berdampingan secara damai di Surabaya. Artikel ini berangkat dari riset yang penulis lakukan melalui wawancara dengan penduduk lokal, kaum migran, politisi dan intelektual. Riset tersebut bermuara pada pertanyaan bagaimana para pendatang bisa bertahan hidup di Surabaya dalam nuansa keragaman dan keberagaman; serta bagaimana mereka melihat program-program pemerintah seputar multikulturalisme. Dengan merujuk pada konsep multicultural citizenship dari Kymlicka, artikel ini menunjukkan bahwa meski terkesan “damai,” terdapat resistensi antara penduduk lokal dan migran khususnya yang berkaitan dengan politik dan ekonomi. Sebagian kelompok mayoritas, penduduk lokal termarjinalkan dalam urusan politik dan ekonomi akibat kalah bersaing dengan penduduk migran yang ada di Surabaya. Hal ini semakin diperparah dengan program festival multikulturalisme pemerintah Surabaya yang terkesan seremonial tahunan tanpa melibatkan penduduk lokal.