PRINCIPLE OF UTMOST GOOD FAITH DALAM PERJANJIAN ASURANSI: Studi Asas Hukum Perjanjian Syariah
Abstract
Asuransi sebagai aktivitas bisnis diharuskan memenuhi prinsip-prinsip hukum asuransi. Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh adalah principle of utmost good faith, di samping prinsip yang lain. Prinsip ini berbunyi bahwa seorang tertanggung wajib memberi informasi secara jujur terhadap apa yang dipertanggungkan kepada penanggung. Dalam bisnis Islam, kejujuran merupakan prinsip yang harus dijunjung tinggi. Secara hukum, prinsip ini diatur dalam KUH Dagang. Persoalannya adalah apakah prinsip ini dianggap cukup dari sudut pandang hukum perjanjian syariah. Secara sekilas bahwa prinsip iktikad baik sempurna ini telah memenuhi asas perjanjian syariah, namun demikian tidak memiliki kriteria maksimal kejujuran. Ketiadaan kejujuran dalam bisnis asuransi akan berdampak pada batalnya perjanjian asuransi karena ada unsur cacat kehendak (‘uyub ar-ridla). Insurance as a business activity must fulfill principles of insurance law. One of the principles that must be hold on is the principle of utmost good faith. The principle says that an endured person must honestly give information of what should be given responsibility to the guarantor. In Islamic business, honesty is a principle that should be respected. From point of view of law, the principle is settled in commerce law. The problem is that whether the principle is represenative enough if it is viewed from law of syariah agreement. At glance, the principle has fulfilled the basic of syariah agreement, however, it does not have maximum criteria of honesty. Unavailability of honesty in insurance business will give effect of invalidate of insurance agreement, for there is a deformity of desire (‘uyub ar-ridla).