PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK UNTUK KASUS KORUPSI: Kajian Antara Hukum Positif dan Hukum Islam

Abstract

Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisir dan bersifat lintas batas teritorial (transnasional). Salah satu sebabnya karena pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi dalam sistem birokrasi yang koruptif sehingga memerlukan instrumen hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Perkembangan praktik tersebut memunculkan suatu gagasan dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian beyond reasonable doubt, yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence). Akan tetapi di sisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Penerapan pembuktian terbalik mengalami banyak hambatan sehingga teori tersebut hingga kini belum bisa diaplikasikan di Indonesia karena dianggap bertentangan dengan teori dasar pembuktian. Begitu pula dalam hukum Islam, seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara ketika tidak ada bukti. Corruption is one of an organized wickedness and it is territorial boarder crossing (transnational). The one of cause it is hard to eliminate corruption action in the corrupted bureaucracy and it needs law instruments to prevent and to fight against it. The development of the practice stimulates an idea to conduct authentication of corruption. The admitted theory of authentication that has been used so far is the authentication principal beyond reasonable doubt which is in contradiction with presumption of innocence. However, this principal is hard used during the process of authentication of corruption cases. The implementation of reverse authentication undergoes obstacles and it cannot be applied in Indonesia for it is supposed to be in contradiction with the basic theory of authentication. It also occurs in Islamic law in which a judge should not make a decision of a case if no available proof.