RESOLUSI KONFLIK DI ASIA TENGGARA: PENGALAMAN MUSLIM INDONESIA

Abstract

Artikel ini akan mengkaji peran kepemimpinan Muslim Indonesia dalam mewakili pemerintah dan masyarakat sipil pada upaya perdamaian di Asia Tenggara. Ini dilakukan sejak masa Menlu Ali Alatas dalam memediasi konflik di Kamboja dan Filipina Selatan, hingga periode Menteri dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Professor M. Din Syamsuddin yang memediasi Filipina Selatan dan Aceh. Muslim Indonesia juga turut memainkan peran aktif dalam memediasi konflik di Thailand Selatan dan Timur Tengah. Sebagai negara demokratis ketiga di dunia dan negara Muslim terbesar, Indonesia telah berubah menjadi negara dengan kekuatan menengah (Middle Power) dan melakukan peran utama dalam menciptakan wilayah Asia Tenggara yang stabil dan sejahtera. Artikel ini berargumen bahwa pengalaman ini bisa membawa Indonesia pada peran lebih besar di Timur Tengah dan Afrika. Tetapi peran ini terhambat akibat masih kurangnya kepercayaan negara-negara Arab yang masih memandang Indonesia sebagai negara pinggiran. This article examines the role of  Indonesian Muslim leaders representing state and civil society on conflict resolution in Southeast Asia from the period of Foreign Minister Ali Alatas on mediating conflict in Cambodia and Southern Philippines to the period of Minister and Vice President Jusuf Kalla, President Susilo Bambang Yudhoyono and Professor M. Din Syamsuddin who mediating conflict of Aceh and Southern Philippines. Indonesian Muslims also took active participation in mediating conflicts in Southern Thailand and conflicts in the Middle East. As the third largest democratic country and the largest Muslim country, Indonesia have transformed as middle power country and confidently taken a leading role in managing stable, peacefu and prosperous region of Southeast Asia. It argues the experience of Indonesia in regional mediation will lead Indonesia towards international conflict resolution in the Middle East and Africa. However, Arab countries still consider Indonesia as periphery of Islam and cultural gap which influence the trust from Arabcountries.