Representasi Etnis Muslim Rohingya di Media Massa Islam

Abstract

Melihat pemberitaan tentang etnis rohingya beberapa waktu belakangan ini seringkali kita disuguhkan dengan gambaran atau pemberitaan oleh media kita terutama media yang bernafaskan Islam. Berbagai bentuk pemberitaan di tampilakan oleh media tersebut. Dengan kemasan yang berbeda-beda antara satu media dengan media yang lain. Tentu akan berbeda antara media yag beraliran nasionalis dana media yang berideologikan agama. Mulai dari sudut pandang berita, pembahasaan di teks, maupun foto atau gambar yang ada di media tersebut. Menarik bila kita cermati bagaimana media yang berideologikan Islam dalam mengemas pemberitaanya. Seringkali kita melihat media Islam di Indonesia menampilkan berita tentang etnis rohingya dengan sangat mengebu-gebu. Terkadang penulisannya cendrung provokatif dan  kelihatan seperti sangat mendramatisir. Mulai dari judul berita, konten dari berita tersebut hingga foto-foto yang ditampilakan. Seperti yang menjadi kepala berita di media online Arrahmah.com ketika mengemas berit dengan judul “Setan Gundul Budha Myanmar Harus Diberi Pelajaran Setimpal” (Arrahmah.com, akses15 Juni 2013), ini tentu sangat terlihat provokatif dan sebagai media yang membawa simbol agama tentu hal ini akan sulit diterima dengan akal sehat. Contoh lainnya “Muslim Rohingya menderita diskriminasi dan penganiayaan yang hampir tak pernah henti” (Arrahmah.com, akses 15 Juni 2013). Dari dua contoh pemberitaan diatas dapat kita lihat bagaimana ada dua dikotomi yang berbeda yang ditampilkan oleh media Arrahman.com. Disatu sisi orang Budha Myanmar di hadirkan dengan sangat hina dengan kata-kata yang cendrung sangat melecehkan dengan kata “Gundul”, sedangkan disisi lain orang muslim rohingya ditampilkan dengan kondisi sangat memprihatinkan dengan menggunakan kata “penganiyaan yang hapir tak penah henti”. Tentu berita itu sangat sangat provokatif dan mengandung unsur propaganda. Padahal bila kita pelajari dalam kaidah jurnalistik, setiap wartawan harus bersikap profesional dan netral. Dimana harus ada keseimbangan fakta dalam suatu pemberitaan, namu tidak dengan apa yang terjadi di media Arrahmah.com. Keberpihakan inilah yang semakin penulis anggap relefan dengan apa yang dikatakan oleh paradigma kritis bahwa tidak ada media yang bisa netral, selalu ada kepentingan di balik pemberitaanya.