Dampak Financial Sistem Terhadap Gadai Tanah Sawah Di Tinjau Dari Perspektif Hukum Islam Pada Masyarakat Bima

Abstract

Masyarakat di Bima biasanya menggadaikan tanah sawahnya kepada kerabat atau famili ataupun kepeda tetangganya sendiri. Dengan waktu pengembalian uang pinjaman (utang) minimal biasanya untuk dua kali masa tanam dan panen padi. Namun jika pihak penggadai (rahin) telah mampu mengembalikan uang pinjaman pada waktu panen pertama, jika memang dalam aqad telah disepakati, maka tanah akan digarap kembali oleh pemilik lahan sawah tersebut. Tapi yang unik, tidak sedikit dari kasus-kasus gadai di Bima yang sampai hingga beberapa tahun, atau bahkan mungkin puluhan tahun.Gadai  merupakan  suatu  sarana  saling  tolong - menolong  bagi  umat  muslim,  tanpa  adanya  imbalan  jasa. Sehingga  kemudian  akad  gadai  ini dikategorikan ke dalam akad yang bersifat derma (tabarru) hal ini disebabkan  karena  apa  yang  diberikan  rahin  kepada  murtahin  tidak  ditukar  dengan  sesuatu. Sementara yang diberikan oleh  murtahin  kepada  rahin  adalah utang,  bukan penukar dari barang  yang digadaikan (marhun). Selain itu,  rahn  juga digolongkan  kepada  akad  yang  bersifat  ainiyah,  yakni  akad  yang  sempurna  setelah menyerahkan barang yang diakadkan. Sehingga kemudian dijelaskan  bahwa semua akad yang bersifat derma dikatakan sempura setelah memegang (al-qabdu), sempurna  tabarru,  kecuali  setelah  pemegangan).