KONSTRUKSI HADIS PENDIDIKAN SHALAT DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Abstract

Abstract: Worship education is one of the significant aspects for the realization of noble character as expected in the objectives of the national education system. Therefore, Muhammad saw as the Messenger of Allah in one of his hadiths commands for praying at the age of seven and allowed to beat them if he did not carry it out at the age of ten. However, prayer education so far is only limited knowledge and practice without being escorted by appreciation. This article examines the construction of prayer education hadist based on the philosophy of education. It has become an urgent issue as indicated by the decline of the character’s value of the nation's generation. Thus, the expected objective of praying has not been fully achieved. In addition, the hitting punishment in the context of education which was allowed by the Prophet cannot be realized and it bounce back to educators because it is considered as violence. This study revealed that the selection of material for praying is a blending system of essentialism, neoscolatisism, pragmatism, and essentialism. The method of punishment is relevant to a blend of philosophies of idealism, perennialsm, essentialism, and behaviorism. Both the material and methods in the hadith of prayer education do not conflict with the philosophy of Pancasila. In fact, both are manifestations of the practice of philosophy so that the hadith of the prayer education is relevant and still actual.Abstrak: Pendidikan shalat adalah salah satu aspek penting bagi terwujudnya akhlak mulia sebagaimana yang diharapkan dalam tujuan sistem pendidikan nasional. Karena itu, Rasulullah Saw. sebagai penyempurna akhlak dalam salah satu hadisnya memerintahkan shalat sejak usia tujuh tahun dan membolehkan memukul jika tidak melaksanakannya di usia sepuluh tahun. Namun, pendidikan shalat selama ini hanya sebatas knowing (pengetahuan) dan doing (praktik) tanpa disertai penghayatan nilai (being). Artikel ini akan mengkaji tentang konstruksi hadis pendidikan shalat dalam tinjauan filsafat pendidikan. Hal ini menjadi urgen ditunjukkan dengan masih merosotnya akhlak atau karakter generasi bangsa. Dengan demikian, fungsi shalat yang diharapkan belum tercapai sepenuhnya. Di samping itu, hukuman memukul dalam rangka mendidik yang dibolehkan oleh Rasulullah Saw. dalam hadisnya tidak bisa terealisasi dan justru menjadi boomerang bagi para pendidik karena dianggap oleh masyarakat sebagai kekerasan. Dari kajian yang dilakukan melalui pendekatan filsafat pendidikan, pemilihan materi shalat merupakan perpaduan dari filsafat esensialisme, neoskolatisisme, pragmatisme, dan esensialisme. Metode hukuman relevan dengan perpaduan filsafat idealisme, perenialisme, esensialisme, dan behaviorisme. Baik materi dan metode dalam hadis pendidikan shalat tidak bertentangan dengan filsafat Pancasila. Justru keduanya adalah wujud dari pengamalan filsafat tersebut sehingga hadis pendidikan shalat tersebut bersifat relevan dan tetap aktual.