PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP KEDUDUKAN SUNRANG DI KECAMATAN PALLANGGA KAB.GOWA (Studi Perbandingan Hukum Adat Dan Hukum Islam)

Abstract

AbstrakArtikel ini mengemukakan kedudukan sunrang yang diminta kembali pada saat terjadi perceraian. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pallangga, Gowa. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa, masyarakat Kecamatan Pallangga, mengenal  sunrang sama dengan mahar dalam hukum Islam yaitu  syarat yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki untuk diberikan kepada calon  mempelai perempuan dengan jumlah dan jenis sunrang ditentukan oleh keluarga dari pihak calon mempelai perempuan dan disetujui oleh pihak dari keluarga calon mempelai laki-laki. Apabila sunrang tersebut telah  diberikan  oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan pada saat akad nikah  maka sunrang tersebut sudah menjadi hak mutlak dari isteri. Artinya sudah tidak ada lagi hak dari suami atas sunrang  itu, artinya sunrang tersebut tidak boleh di ganggu gugat. Menurut hukum adat yang ada di Pallangga ketika suami isteri bercerai lalu si suami meminta sunrang/maharnya kembali maka itu tidak di perbolehkan apabila sepasang suami isteri tersebut sudah mempunyai anak. Lain halnya ketika bercerai lalu belum bercampur maka pihak perempuan wajib mengembalikan seluruh sunrang yang diberikan oleh laki-laki pada saat akad nikah, kerena hal tersebut merugikan pihak dari  laki-laki. Menurut pandangan hukum Islam apabila terjadi perceraian dan belum bercampur maka mahar itu bisa diambil kembali tetapi hanya sebagian atau separuhnya saja kecuali perempuan memaafkan atau mengikhlaskannya maka seluruh mahar tersebut itu boleh diambil oleh pihak laki-laki. Begitupun sebaliknya ketika laki-laki memafaatkan/mengikhlaskan maharnya maka seluruh mahar tesebut adalah milik dari perempuan.Kata Kunci: Sunrang; Hukum Islam; Hukum Adat.