PEMALSUAN SURAT KETERANGAN KEMATIAN SUAMI ATAU ISTRI SEBAGAI SYARAT UNTUK PERKAWINAN BARU DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) KECAMATAN LENGAYANG KABUPATEN PESISIR SELATAN

Abstract

Latarbelakangi penelitian ini adanya pembuatan surat keterangan kematian yang dikeluarkan wali nagari, sementara orang yang dinyatakan mati masih hidup. Surat keterangan kematian itu digunakan syarat untuk perkawinan baru di KUA. Jenis peneliatan yang digunakan adalah penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan analisis data dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan teknik reduksi, display, dan verifikasi. Hasil penelitian menunujkan bahwa (1) penyebab pemalsuan surat keterangan kematian sebagai syarat untuk menikah adalah ada masyarakat yang enggan untuk bercerai di pengadilan. Surat keterangan kematian ini dikeluarkan oleh wali nagari dengan syarat surat pertanggungjawaban yang dibuat oleh pihak pengantin dan ditandatangai oleh kepala kampung. (2) Akibat hukum yaitu perkawinan secara hukum Islam sah, Namun, perkawinan tersebut cacat hukum karena terdapat kebohongan dalam administrasinya dan dapat dibatalkan melalui Pengadilan Agama. Secara hukum negara jika laki-laki sebagai pemalsu maka perkawinannya poligami. Jika istri sebagai pemalsu maka perkawinannya poliandri. KUHP mengatur perbuatan pemasluan surat dalam pasal 264, 266, 269 dengan hukuman penjara paling lama delapan tahun. (3) Upaya KUA mengatasi pemalsuan surat keterangan kematian sebagai syarat untuk menikah adalah memberikan, penyuluhan, sosialisasi kepada masyarakat terutama kepada orang yang hendak menikah, mamak, kepala kampung, dan wali nagari. Namun, upaya hukum yang dilakukan KUA meminimalisirnya tidak berjalan secara optimal dengan bukti masih ada sebagian masyarakat yang melampirkan surat keterangan kematian untuk menikah di KUA.