PERSPEKTIF HADIS TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI

Abstract

Tulisan ini berangkat dari dasar pemikiran bahwa secara normatif hadis telah memberikan kerangka nilai yang ideal dalam menyelenggarakan  pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi (clean government). Kualitas hadis tentang tindak pidana korupsi termasuk kategori sahih lidzatihi, karena hadis tersebut telah memenuhi kaedah kesahihan sanad dan matan. Kedua; terma yang lazim digunakan dalam hadis yang bisa dihubungkan dengan tindakan korupsi adalah “ghulul” (penggelapan). Meski dalam  konteks awal kemunculannya, terma ini dihubungkan dengan penggelapan harta rampasan perang, dalam pandangan peneliti maknanya bisa dikembangkan dengan menggelapkan harta kekayaan negara.  Ketiga, terdapat dua jenis sanksi yang seharusnya diterima oleh pelaku korupsi, yakni sanksi teologis yang akan diterima di akhirat, dan sanksi  moral. Dalam perspektif hadis, ancaman bagi pelaku korupsi (ghulul) antara lain: 1) Allah akan membelenggu pelaku korupsi, dan sebagai bentuk pertanggungjawaban, ia akan membawa harta hasil korupsinya pada hari kiamat; 2) pelaku korupsi akan memperoleh kehinaan dan siksa api neraka; 3) Nabi saw. tidak berkenan mensalatkan jenazah yang terlibat korupsi;  4) Allah swt. tidak akan menerima sadaqah seseorang yang bersumber dari harta korupsi. Untuk konteks Indonesia, sanksi hukum bagi pelaku korupsi didasarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.