Tugas Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Semarang Sebagai Kurator Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Abstract

Abstrak Peran dari Balai Harta Peninggalan berkurang, sejak munculnya kurator swasta, apalagi Pengadilan Niaga berdasarkan permintaan debitor atau kreditor cenderung menggunakan kurator swasta dari pada menggunakan Balai Harta Peninggalan yang ada, dan dalam praktek pun Balai Harta Peninggalan kurang mendapatkan perhatian. Hal ini dikarenakan ada anggapan bahwa Balai Harta Peninggalan lamban dalam menjalankan tugasnya dan sumber daya manusianya yang kurang jika di bandingkan dengan kurator swasta.Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui tugas dan fungsi Balai Harta Peninggalan Semarang sebagai kurator Kepailitan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.dan mengetahui eksistensi Balai Harta Peninggalan Semarang sebagai kurator kepailitan setelah adanya kurator swastaPenelitian ini menggunakan metode pendekatan metode pendekatan yuridis sosiologis tidak hanya ditinjau dari kaidah hukum saja, tetapi juga berusaha untuk menelaah keterkaitan antara faktor yuridis dengan faktor sosiologis. Faktor yuridis dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, sedangkan faktor sosiologisnya adalah mengetahui pelaksanaan undang-undang tersebut dalam hal tugas dan fungsi Balai Harta Peninggalan dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit debiturDari data-data yang berhasil dikumpulkan dalam penulisan ini, baik data primer maupun data sekunder didapatkan hasil penelitian bahwa tugas kurator tidaklah mudah. Tugas kurator adalah melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Eksistensi Balai Harta Peninggalan dibandingkan dengan kurator swasta menunjukkan penurunan eksistensi sebagai kurator yang disebabkan oleh berbagai faktor.Kata kunci : BHP, Tugas, EksistensiAbstractThe role of Probate Court (BHP) has decreased since the presence of private receivers. Moreover, Pengadilan Niaga (Trade Court), according to debtors and creditors’ demands prefers private receivers to Probate Court, and in fact, Probate Court gets less attention. It is caused by an opinion that Probate Court clumsily runs its duty and that its human resources are not enough compared with the private receivers.The goals of the research are to understand and to analyze the responsibility of Probate Court as a receiver after the validity of law No. 37 2004 of bankruptcy and the obstacles faced by Probate Court in management and settlement of bankruptcy. Existence with currator non goverment.The research applies methods of juridical-empirical approach, an approach that uses secondary data in advance and followed by primary data in field that will be used to answer the emerged problems.A research says: in the context of bankruptcy, the responsibility for failures and mistakes done by Probate Court is regulated in Article 72 of law No. 37 2004 of bankruptcy which has not given the law certainty as there is no definite punishments. Therefore, the receiver’s responsibility for failures and or mistakes can be different in form and is adjusted with the level of mistakes and loss.Probate Court as a receiver has full responsibilities for making up loss caused by their neglects and or mistakes, based on article 80 Stbl 1872 No. 166 of Instruction for Probate Court in Indonesia.Probate Court in running its duty and authority as a receiver finds some obstacles such as: bureaucracy, juridical, administration, and human resources.Key words: BHP, Assigment, Existence.