PEKERJA TETAP MENGHADAPI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Abstract
Seiring dengan bertambah pesatnya keadaan perekonomian di Indonesia banyak pengusaha yang berlomba-lomba mendirikan badan-badan usaha/perusahaan. Hal ini dilakukan oleh para pengusaha dalam rangka menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perekonomian dunia yang semakin kompleks dan bertujuan untuk menciptakan dunia yang semakin kompleks dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Dengan adanya badan-badan usaha/perusahaan baru tersebut maka otomatis akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat pada umumnya. Dengan terciptanya lapangan pekerjaan baru tersebut maka masalah-masalah ekonomi yang membelit dalam suatu keluarga akan terselesaikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa tiap-tiap negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini berarti menjadi tugas negara yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengusahakan agar setiap orang yang mau dan mampu bekerja dapat mendapatkan pekerjaan sesuai dengan yang diinginkannya dan setiap orang yang bekerja dapat memperoleh penghasilan yang cukup untuk hidup layak, bagi si tenaga kerja sendiri maupun keluarganya. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja sepihak yang dilakukan oleh pengusaha itu, maka pengusaha tidak bisa dengan seenaknya lepas tangan begitu saja. Pengusaha haruslah memenuhi kewajiban untuk memberi ganti rugi kepada pekerja, yaitu sebesar upah pekerja sampai perjanjian kerja tersebut selesai. Atau dengan kata lain pekerja dapat menuntut apa yang menjadi haknya apabila pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak kepadanya. Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Dalam Pasal 156 ayat (2) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 telah ditetapkan besarnya pesangon.